APLIKASI MUSAYARAKAH DALAM PERBANKAN SYARIAH (Tinjauan Teori Hukum Fikih Dan Fatwa MUI-DSN)



OLEH: AGUS SALIM


A.                Pendahuluan.
Munculnya bank syariah di berbagai Negara  merupakan fenomena kesadaran mayarakat ekonomi, dan Banker untuk mengembalikan prinsip-prinsip ekonomi syariah dari prinsip ekonomi capital dan ekonomi sosial yang dianggap tidak mampu menstabilkan perekonomian dunia saat ini. Dengan munculnya bank syariah, maka akad, prinsip dan tujuan ekonomi di perbankan syariah mau tidak mau harus mengikuti ketentuan akad dalam ilmu fikih. Penyesuaian akad, prinsip dan tujuan ekonomi syariah tersebut bukan tidak  beralasan. Tidak akan tercapai tujuan pendirian bank syariah, jika saja praktik dan aplikasi bank syariah masih menggunakan prinsip Bank konvensional pada umumnya.
Untuk menyesuaikan akad, prinsip dan tujuan Bank Konvensional kepada bank syariah dibutuhkan kajian akad-akad dalam transaksi yang berlaku didalam hukum fikih secara mendalam. Prinsip dalam transaksi-transaksi dalam hukum fikih adalah  saling ridho-meridhohi, tidak mendholimi satu sama lainya dan saling menolong antar sesama. Dengan akad, syarat, dan rukun transaksi ekonomi Islam, maka transaksi yang berlaku di lingkungan lembaga syariah dapat dianggap sah menurut hukum fikih.
Dalam praktik teknis ada beberapa kesamaan antara bank konvensiaonal dan bank syariah, kesamaan itu menurut Muhammad Syafii Antonio meliputi,[1] teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi computer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiyaan seperti KTP, NPWP, Proposal laporan keuangan dan sebagainya.
Salah satu produk perbankan syariah adalah pembiayaan dan modal Ventula, dari kedua produk tersbut maka ada bagi hasil atau  Profit Sharing dengan cara Partnership  atau  Project Financing Participation yang dalam hukum fikih diistilahkan sebagai syirkah atau musyarakah.  Ketentuan syirkah atau musyarakah. Dengan demikian dalam makalah ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah di bawah ini.
1.      Bagaimana teori syirkah dalam hukum fikih dan ada berapa bentuk-bentuknya?
2.      Apa produk yang diterapkan oleh perbankan syariah yang sesuai dengan syirkah dan tranformasi akadnya?
3.      Bagaimana prinsip kerja sama perbankan syriah menurut akad teori syirkah?
B.                Teori Syirkah Dalam Hukum Fikih.
Syirkah menurut bahasa adalah Al ikhtilat maksudnya bercampurnya salah satu dari dua harta dengan yang lainnya, sekiranya percampuran itu tidak dapat dibedakan satu sama lainnya.[2] Sedangkan Syirkah menurut istilah para ahli fikih adalah, akad yang dilakukan oleh dua orang yang berserikat terhadap modal dan laba.[3] Menurut Yahya Zakariyah Al Ansory Syirkah adalah Tetapnya hak terhadap sesuatu bagi dua orang atau lebih.[4] Menurut ulama Maliki  sebagaimana dikutip Wahbah Al Zuhaily syirkah adalah pesekutuan terhadap hak dan pentasarufan.[5] Perjanjian Syirkah dapat dilakukan oleh dua orang atau lebih terhadap hak-hak mereka dalam mengembangakan modal dan usaha yang mereka sepakati.
Dalam hukum fikih Syirkah dilandaskan pada ayat qur’an surat Anisa’ ayat 12:
فَهُمْ شُرَكَاءُ فِى الثُّلُثِ...............
…Maka mereka bersekutu dalam sepertiga…..(Q.S. An nisa.Ayat 12)
Prinsip utama dalam Syirkah dalam hukum fikih adalah saling memegang amanah, baik dalam penglolahan, penggunaan modal dan pembagian laba. Penggunaan modal harus disepakati kedua belah pihak atau lebih dalam berseikat, dan pembagian hasil juga harus mendapat kesepakatan dari awal dimulainya perseriktan, sehingga salah satu dari dua belah pihak atau lebih yang melakukan perserikatan tidak merasa dirugikan dan tidak merasa terkhianati. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT menjadi pihak ketiga bagi orang yang melakukan perserikatan.  
اَنَا ثَالِثُ الشَّرِيْكَيْنِ مَالَمْ يَخُنْ اَحَدَهُمَا صَاحِبَهُ, فَاِنْ خَانَ اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
Saya(Allah) menjadi pihak ketiga bagi dua orang yang berserikat selagi salah satu dari mereka tidak berkhianat kepada rekanannya, kemudian jika salah satu dari mereka mengkhianati rekanannya saya (Allah) akan keluar dari perserikatan keduanya. (Abu Dawud dan Hakim)

Secara garis besar  Sayid Sabiq  membagi bentuk-bentuk syirkah dari sudut pandang menggunakan akad atau tidaknya terbagi dalam dua bentuk,[6]
Pertama  Syirkah Amlak, Syirkah Amlak  adalah kepemilikan bagi lebih dari satu orang terhadap suatu benda atau modal tanpa melalui akad. Dalam Syirkah Amlak melihat dari segi cara mendapatkanya ada dua macam pula,[7] Pertama,  Syirkah Amlak Iktiyari, Syirkah ini adalah  bentuk perserikatan yang timbul dari usaha kedua orang yang berserikat, hal ini seperti perserikatan orang saling memberi satu sama lainnya dan orang yang saling berwasiat satu sama lainnya. Kedua,  Syirakah Amlak Ijabari, Syirkah Ini adalah perserikatan yang terjadi pada dua orang atau lebih dengan tanpa usaha mereka, hal ini seperti perserikatan dalam kewarisan.
Kedua adalah Syirkah Ukud, berbeda dengan Syirkah Amlak,  Syirkah Ukud adalah bentuk Syirkah yang dalam praktik perserikatanya harus ditandai dengan perjanjian-perjanjian atau akad antara para pihak yang berserikat. Lebih lanjut Wahbah Zuhaily menukil definisi syirkah ukud dari ulama Hanafiyah,[8] bahwa Syirkah Ukud adalah sebuah ungkapan  akad (perjanjian) yang dilakukan oleh dua orang atau lebih pada harta benda (modal) dan laba modal tersebut.
Ada perbedaan pandangan dalam pembagian syirkah ukud, menurut ulama Hambali bentuk Syirkah Ukud sebagaimana dijelaskan Wahbah Juhaily ada lima bagian, yaitu, Syirkah Inan, Syirkah Mufawadhoh, Syirkah Abadan, Syirkah Wujuh dan Syirkah Mudhorobah. Adapu menurut  Sayid Sabiq , Malikiya dan Syafi’iyah mengatakan bahwa  Syirkah Mudhorabah bukanlah termasuk  bagian dari Syirkah Ukud, dan Mudhorabah dibahas secara terpisah dari praktik Syirkah.
  Adapun penjelasan tentang beberapa bentuk syirkah ukud di atas sebgaiamana berikut:[9]
a.      Syirkah Inan adalah perserikatan antara dua orang atau lebih terhadap harta-harta mereka untuk diperdagangkan, sedangkan laba yang didapat oleh para pihak dibagi kepada para pihak yang berserikat. Dalam Syirkah ini tidak disaratkan adanya modal yang sama antara para pihak, dan tidak disaratkan kesamaan jinis usaha dalam pengembangan modal. Maka diperkenankan dalam syirkah ini perbedaan modal, artinya bisa saja salah satu pihak lebih banyak modalnya dari pihak yang lain. Karena boleh ada perbedaan modal bagi setiap para pihak serikat, maka ada perbedaan laba yang diterimanya yang disesuaikan dengan modal.
b.      Syirkah Mufawadho adalah perserikatan dengan perjanjian antara  dua pihak atau lebih untuk berserikat pada satu usaha  dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu meliputi; Kesamaan modal, Kesamaan penggunaan modal, Kesamaan agama (antara para pihak berserikat) dan antara para pihak yang berserikat saling menanggung satu sama lainnya.

Dengan syarat-syarat di atas, maka salah satu para pihak tidak boleh memperbanyak modal dari yang lain. Jika salah satu dari para pihak lebih banyak modalnya dari yang lain maka batal akad syirkahnya. Para pihak juga boleh berbeda Agama dan tidak boleh salah satu dari para pihak ada yang masih anak-anak dan yang lain sudah dewasa, jika salah satu para pihak ada yang dewasa dan yang lain masih anak-anak, maka akad syirkah ini tidak sah.  Syirkah ini menuntut bagi para pihak untuk saling menjadi kuasa bagi yang lainnya, dan menjadi penanggung dari yang lainnya.
c.       Syirkah Wujuh adalah seperti dua orang atau lebih yang membeli sesuatu barang dari seseorang dengan tanpa modal yang mereka punya karena kepercayaan terhadap keahlian mereka untuk berdagang.
Menurut Abu Bakar Al kasani yang dikutip dalam buku Muhammad Syafii Antonio,[10] Syirkah ini adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam berbisnis. Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh tiap mitra. Jenis al musyarakah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasar jaminan tersebut. Karenanya kontrak ini pun lazim disebut sebagai musyarakah piutang. Syirkah Wujuh juga sama dengan Syirkah ala Dzmim
d.      Syirkah Abdan, adalah Syirkah yang dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak berserikat atau lebih pada sebuah usaha dari berbagai macam usaha yang dimana ujrah (gaji) yang dihasilkan dari pekerjaan ini menjadi milik bersama para pihak sesuai kesepakatan awal. Syirkah abdan memiliki istilah lain di sebagian kitab karya ahli fikih Wahbah Ajuhaily Contohnya menyamakan istilah Syirkah Abdan dengan Syirkah ‘Amal.
e.       Syirkah Mudharabah,[11] Syirkah ini menurut Ahmad Syarbasy yang juga dinukil oleh Muhammad Syafii Antonio adalah akad kerja sama usaha antara  dua belah pihak di mana pihak pertama (shohibul Mal) menyediakan modal, sedangkan pihak lainnya mengelolah. Keuntungan usaha secara mudhorobah dibagai menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Dan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelolah. Seandainya kerugian itu  diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian penglola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Dalam bab Syirkah ulama mazhab tidak menspesifikasikan akad bagi setiap bentuk-bentuk Syirkah. Segala bentuk Syirkah mempunyai rukun akad yang sama, yakni harusnya ada para pihak yang berakad, adanya sighot akad dan sesuatu yang diakadi. Dalam kitab-kitab fikih di contohkan akad syirkah yang menjadi sighodul aqdi, sepert شَرَكْتُكَ هَذَا بِالرِّبْحٍ بِكَذَا  dan قَبِلْتُ , dan boleh menggunakan kalimat yang sama dengan lafad syarikah.
Perbedaan pendapat para imam madzab terletak pada pembatasan rukun syirkah, sehingga dari perbedaan pandangan rukun syirkah ini menjadikan tidak semua bentuk syirkah menjadi boleh menurut mereka. Perbedaan rukun syirkah tersebut dipetakan oleh Rachmat Syafi’i sebgaimana berikut,[12] Hanafiyah menyebutkan rukun syirkah adalah ijab dan qobul, sedangkan rukun syirkah menurut jumhul ulama aqidain (pihak yang berakad, maqud alaih (harta/laba) dan shighot.

C.                Aplikasi Musyarakah Dalam Perbankan Syariah Tinjauan DSN.
Musyarakah di dalam bank Syariah menurut Muhammad Syafii Antonio di aplikasikan kepada dua produk perbankan syariah, dua produk itu adalah pembiyaan proyek dan modal ventura.[13] Praktik pembiyaan oleh bank dengan akad musyarakah, pihak bank memberi pembiyaan kepada pihak pengelolah proyek setelah proyek selesai, maka pihak pengelolah proyek mengembalikan pinjaman kepada pihak bank dan juga membagi hasil dengan pihak bank sesuai dengan kesepakatan. Ada pun praktik bank memberi modal kepada pihak pengelolah perusahaan dan pihak perusahaan, mengelolah modal tersebut dengan batas waktu yang disepakati dan setelah jatuh tempo pihak perusaan mengembalikan modal dan membagi hasil dari pengelolahan tersebut.
Menurut fatwa DSN-MUl No. 01IDSN-MUI/X/2013 tentang pedoman implementasi musyarakah mutanaqishah dalam produk pembiayaan. Disebutkan bahwa Musyarakah mutanaqishah sebagaiamana berikut:
a.       Modal usaha dari para pihak (Bank Syariah Lembaga Keuangan Syariah [LKS] dan nasabah) harus dinyatakan dalam bentuk hishshah. Terhadap modal usaha tersebut dilakukan tajzi'atul hishshah; yaitu modal usaha dicatat sebagai hishshah (portion) yang terbagi menjadi unit-unit hishshah.

Misalnya modal usaha syirkah dari bank sebesar 80 juta rupiah dan dari nasabah sebesar 20 juta rupiah (modal usaha syirkah adalah 100 juta rupiah). Apabila setiap unit hishshah disepakati bernilai 1 juta rupiah; maka modal usaha syirkah adalah 100 unit hishshah.
b.      Modal usaha yang telah dinyatakan dalam hishshah tersebut tidak boleh berkurang selama akad berlaku secara efektif.
Sesuai dengan contoh pada huruf a, maka modal usaha syirkah dari awal sampai akhir adalah 100 juta rupiah (l00 unit hishshah).
c.       Adanya wa 'd (janji).
Bank Syariah/LKS berjanji untuk mengalihkan seluruh hishshahnya secara komersial kepada nasabah dengan bertahap;
d.      Adanya pengalihan unit hishshah
Setiap penyetoran uang oleh nasabah kepada Bank Syariah/LKS, maka nilai yang jumlahnya sama dengan nilai unit hishshah, secara syariah dinyatakan sebagai pengalihan unit hishshah Bank Syariah/LKS secara komersial (naqlul hishshah bil 'iwadh), sedangkan nilai yang jumlahnya lebih dari nilai unit
Pembiayaan dengan Musyarakah Mutanaqisah ini diberikan kepada perorangan atau perusahaan yang membutuhkan modal untuk mengembangkan usahanya dengan cara bagi hasil. Sedangkan usaha yang dimaksud usaha yang tidak bertentangan dengan Syariah. Tidak ada batasan modal harus pada usaha jenis apa, syariat islam memperbolehkan setiap usaha yang dilakukan oleh manusia asal tidak dalam kemaksiatan berupa perjudian, minuman keras, penipuan dan lain sebagainya.
Dalam pembiayaan dengan cara musyarakah di bank syariah atau lembaga keuangan syariah yang lain juga diberlakukan ketentuan denda jika si nasabah memperlambat pembayaran atau angsuran, sebagaimana yang berlaku di lembaga keuangan lain ada denda keterlambatan dan denda kerugian dimana kedua tersebut harus disesuaikan dengan acuan  fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (ta'widh).
Pada prinsipnya di dalam hukum fikih, akad syirkah tidak mengenal denda untuk para pihak yang berserikat. Para pihak yang berserikat dalam hukum fikih dituntut untuk menjadi kuawasa (wali) dari pihak yang lain, dan memegang kepercayaan atau amanah pada pihak lain, sehingga para pihak yang berserikat tidak boleh merugikan partner serikatnya, sehingga keduanya tidak saling berhianat. Dan prinsip keuntungan yang disepakati tidak menguntungkan salah satu pihak.
Prinsip keuntungan dalam implementasi musyarakah pada produk bank syariah sebagaimana tertuang dalam putusan fatwa DSN-MUI No. 01/IDSN-MUI/X/2013 Bagian 5 Poin F Proyeksi keuntungan dalam pembiayaan Musyarakah Mutanaqishah dapat didasarkan pada pendapatan masa depan (future income) dari kegiatan Musyarakah Mutanaqishah, pendapatan proyeksi (projected income) yang didasarkan kepada pendapatan historis (historical income) dari kegiatan Musyarakah Mutanaqishah atau dasar lainnya yang disepakati. Para pihak dapat menyepakati nisbah keuntungan tanpa menggunakan proyeksi keuntungan.

D.                Tranformasi Akad Musyarakah Dari Teori Fikih ke Produk Bank Syariah.
Musyarakah yang dapat diaplikasikan pada produk bank syariah adalah bentuk Syirkah Inan. yaitu syirkatul 'inan, yang porsi (hishah) modal salah satu syarik (Bank Syariah/LKS) berkurang disebabkan pengalihan komersial secara bertahap (naqlul hishah bil 'iwadli mutanaqishah) kepada syarik yang lain (nasabah). Syirkah Inan sebagaimana dijelaskan di atas, dalam syirkah ini tidak disyaratkan untuk adanya kesamaan dalam modal, tidak juga ada kesamaan pekerjaan dan hasil di bagi atas kesepakatan kedua belah pihak sehingga syirkah ini banyak sering di praktikan oleh kebanyakan orang.
 Lebih lanjut Wahbah Azuhaily dalam kitab Al Muamalah Al Amaliyah Al Muasyirah mengatakan, sebagaimana dikutip sebagai dasar pemikiran hukum dalam putusan  DSN-MUI No 73/DSN-MU/XI/2008 Tentang Musayarakah Mutanaqisah.
Musyarakah Mutanaqisah ini dibenarkan dalam syirkah, Karen­­sebagaimana  ijarah muntahaniyah bi al tamlik—bersandar pada  janji dari bank kepada mitra (nasabah)-nya bahwa Bank akan menjual kepada mitra porsi kepemilikkannya dalam syirkah apabila mitra telah membayar kepada bank harga porsi bank tersebut.
Di saat berlangsung, musyarakah mutanaqishah tersebut dipandang sebagai syirkah inan, karena kedua belah pihak menyerahkan kontribusi ra’sul mal, dan bank mendelegasikan kepada nasabah-mitranya untuk mengelolah kegitan usaha. Setelah selesai syirkah bank menjual seluruh atau sebagian porsinya kepada mitra, dengan ketentuan akad penjualan ini dilakukan secara terpisah yang tidak terkait dengan akad syirkah.

Untuk mengikat  para pihak yang melakukan akad Syirkah, maka perlu adanya perjanjian antara pihak bank dan pihak nasabah, perjanjian-perjanjian itu meliputi. Satu, bank memberikan modal dan kerja berdasarkan kesepakatan pada saat akad. Kedua, kedua belah pihak memperoleh keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati pada saat akad. Ketiga, kedua belah pihak menanggung kerugian sesuai proporsi modal.
Dalam akad musyarakah mutanaqisah, pihak pertama (salah satu syarik, LKS) wajib berjanji untuk menjual seluruh hishah-nya secara bertahap dan pihak kedua (syarik yang lain, Nasabah) wajib membelinya. Setelah selesai pelunasan, seluruh hishah LKS–sebagai syarik-beralih kepada syarik lainya (nasabah).[14] Perjanjian-perjanjian yang dilakukan para pihak harus dituangkan secara tertulis dalam surat kontrak. Dengan ditulisnya perjanjian-perjanian para pihak dalam surat kontrak di harapkan para pihak tidak saling menghianati dan melaksnakan kesepakatan masing-masing.

E.                Analisis Tranformasi Akad.
Akad yang digunakan dalam pembiayaan bank syariah kepada nasabah adalah akad syirkah Inan. Dalam Syirkah Inan tidak mensyaratkan adanya modal yang sama dan usaha yang sama, hal ini yang dilakukan oleh pihak bank dan nasabah. Dimana pihak bank sebagai Syarik pertama dan nasabah (pengembang) sebagai syarik kedua.  Selanjutnya setelah masa tempo habis bank menjual khisahnya kepada mitra, maka dalam akad ini pun berlaku akad jual beli.
Hemat saya ada hal yang tidak sesuai jika produk bank berupa pembiayaan disandarkan pada SyirkahInan. Karena dalam SyirkahInan para pihak harus bekerja, walau pekerjaanya tidak disebutkan. Sementara dalam prinsip Syirkah yang dilakukan oleh bank dan mitra sebagai pembiyaan, terlihat jelas bahwa yang berkerja hanya mitra yang diberi pembiyaan oleh pihak bank.
Lebih tepat jika pembiayaan yang dilakukan oleh bank kepada mitra disandarkan pada akad syirkah mudhorabah atau murabahah, dimana bank sebagai penyedia modal dan tidak bekerja, mitra bekerja atau mengelolah sesuai dengan yang disepakati oleh kedua pihak. Ketentuan bagi hasil disepakati bersama dan jenis usaha juga harus diketahui.

F.                 Penutup.
Syirkah dilakukan oleh dua pihak atau lebih, dimana para pihak membuat perjanjian masing-masing. Menurut bentuknya di beberapa leteratur syirkah mempunyai lima jenis yang kesemuanya mempunyai karakter masing. Karekter itu meliputi sikap memberlakukan modal, jenis usaha dan cara melakukan syirkah. Dari beberapa jenis syirkah dalam fatwa MUI yang dapat diaplikasikan kepada produk bank syariah syirkah Inan. Syirkah inan memiliki ciri-ciri perserikatan antara dua orang atau lebih terhadap harta-harta mereka untuk diperdagangkan, sedangkan laba yang didapat oleh para pihak dibagi kepada para pihak yang berserikat. Dalam Syirkah ini tidak disyaratkan adanya modal yang sama antara para pihak, dan tidak disyaratkan kesamaan jenis usaha dalam pengembangan modal. Maka diperkenankan dalam syirkah ini perbedaan modal, artinya bisa saja salah satu pihak lebih banyak modalnya dari pihak yang lain.
Pembahasan syirkah sebagai sandaran hukum produk bank syariah dibahas pada beberapa fatwa  DSN-MUI  NO 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Musyarakah, DSN-MUI No.73/DSN-MU/XI/2008 tentang musyarakah mutanaqisah, DSN-MUI No. 01/IDSN-MUI/X/2013 tentang pedoman implementasi musyarakah mutanaqisah dalam produk pembiayaan.  Adapun pembiayaan yang dimaksud menurut Muhammad Syafii Antonio adalah pembiayaan Proyek dan pembiayaan modal ventura-suatu investasi dalam bentuk pembiayaan berupa pernyataan ke dalam suatu perusahaan swasta sebagai pasangan usaha (Investee Company) untuk jangka waktu tertentu.




DAFTAR PUSTAKA
Dr. Muhammad Syfii Antonio. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Gema Insani. Jakarta. 2001.
Dr.Wahbah Az Zuhaily. Al Fikihul Islam Wa Adilatuhu. Darul Fikr, Damaskus. Tahun 2008. Jus IV
Sayid Sabiq. Fikih Sunnah. Maktabah ‘Asyryah, Lebanon.Tahun 2011.Juz III.
Abi Yahya Zakariyah Al Ansory. Al Hidayah, Surabaya. Juz I.

Prof. Dr. H. Rachmad Syafi’i. MA. Fiqih Muamalah. Pustaka Setia, Bandung.
DSN-MUI  NO 08/DSN-MUI/IV/2000
DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004
DSN-MUI No.73/DSN-MU/XI/2008
DSN-MUI No. 01IDSN-MUI/X/2013


[1] Dr. Muhammad Syfii Antonio. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Gema Insani. Jakarta. 2001. Hal 29
[2] Dr.Wahbah Az Zuhaily. Al Fikihul Islam Wa Adilatuhu. Darul Fikr, Damaskus. Tahun 2008. Jus IV. Hal.587
[3] Sayid Sabiq. Fikih Sunnah. Maktabah ‘Asyryah, Lebanon.Tahun 2011.Jus III. Hal.210
[4] Abi Yahya Zakariyah Al Ansory. Al Hidayah, Surabaya. Juz I. Hal. 217
[5] Ibid. Dr. Wahba Az Zuhaily……….
[6] Ibid. Sayid Sabiq………… Hal.211
[7] Ibid. Dr. Wahbah Zuhaily…… Hal.589
[8] Ibid. Hal.589
[9] Ibid.Sayid Sabiq….. Hal. 212
[10]  Dr. Muhammad Syafii Antonio……….. Hal 93
[11] Ibid. Hal 95
[12] Prof. Dr. H. Rachmad Syafi’i. MA. Fiqih Muamalah. Pustaka Setia, Bandung. Hal. 188
[13] Ibid Muhammad Syafii Antonio…….. hal 93.
[14] Lihat DSN-MUI No 73/DSN-MU/XI/2008

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI HUKUM ISLAM

SEBAIK-BAIK TEMAN ADALA HUKAMA DAN ULAMA

METODOLOGI DAN PENDEKATAN STUDY ISLAM ERA KLASIK DAN MODERN