APLIKASI MUSAYARAKAH DALAM PERBANKAN SYARIAH (Tinjauan Teori Hukum Fikih Dan Fatwa MUI-DSN)
OLEH: AGUS
SALIM
A.
Pendahuluan.
Munculnya bank syariah di berbagai Negara merupakan fenomena kesadaran mayarakat ekonomi,
dan Banker untuk mengembalikan prinsip-prinsip ekonomi syariah dari prinsip
ekonomi capital dan ekonomi sosial yang dianggap tidak mampu menstabilkan
perekonomian dunia saat ini. Dengan munculnya bank syariah, maka akad, prinsip
dan tujuan ekonomi di perbankan syariah mau tidak mau harus mengikuti ketentuan
akad dalam ilmu fikih. Penyesuaian akad, prinsip dan tujuan ekonomi syariah
tersebut bukan tidak beralasan. Tidak akan
tercapai tujuan pendirian bank syariah, jika saja praktik dan aplikasi bank
syariah masih menggunakan prinsip Bank konvensional pada umumnya.
Untuk menyesuaikan akad, prinsip dan tujuan Bank Konvensional kepada
bank syariah dibutuhkan kajian akad-akad dalam transaksi yang berlaku didalam
hukum fikih secara mendalam. Prinsip dalam transaksi-transaksi dalam hukum
fikih adalah saling ridho-meridhohi,
tidak mendholimi satu sama lainya dan saling menolong antar sesama. Dengan
akad, syarat, dan rukun transaksi ekonomi Islam, maka transaksi yang berlaku di
lingkungan lembaga syariah dapat dianggap sah menurut hukum fikih.
Dalam praktik teknis ada beberapa kesamaan antara bank
konvensiaonal dan bank syariah, kesamaan itu menurut Muhammad Syafii Antonio
meliputi,[1]
teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi computer yang digunakan,
syarat-syarat umum memperoleh pembiyaan seperti KTP, NPWP, Proposal laporan
keuangan dan sebagainya.
Salah satu produk perbankan syariah adalah pembiayaan dan modal
Ventula, dari kedua produk tersbut maka ada bagi hasil atau Profit Sharing dengan cara Partnership atau Project
Financing Participation yang dalam hukum fikih diistilahkan sebagai syirkah
atau musyarakah. Ketentuan
syirkah atau musyarakah. Dengan demikian dalam makalah ini bertujuan untuk
menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah di bawah ini.
1.
Bagaimana
teori syirkah dalam hukum fikih dan ada berapa bentuk-bentuknya?
2.
Apa
produk yang diterapkan oleh perbankan syariah yang sesuai dengan syirkah dan
tranformasi akadnya?
3.
Bagaimana
prinsip kerja sama perbankan syriah menurut akad teori syirkah?
B.
Teori Syirkah Dalam Hukum Fikih.
Syirkah menurut bahasa
adalah Al ikhtilat maksudnya bercampurnya salah satu dari dua
harta dengan yang lainnya, sekiranya percampuran itu tidak dapat dibedakan satu
sama lainnya.[2]
Sedangkan Syirkah menurut istilah para ahli fikih adalah, akad yang dilakukan
oleh dua orang yang berserikat terhadap modal dan laba.[3] Menurut
Yahya Zakariyah Al Ansory Syirkah adalah Tetapnya hak terhadap sesuatu
bagi dua orang atau lebih.[4]
Menurut ulama Maliki sebagaimana dikutip
Wahbah Al Zuhaily syirkah adalah pesekutuan terhadap hak dan pentasarufan.[5]
Perjanjian Syirkah dapat dilakukan oleh dua orang atau lebih terhadap hak-hak
mereka dalam mengembangakan modal dan usaha yang mereka sepakati.
Dalam
hukum fikih Syirkah dilandaskan pada ayat qur’an surat Anisa’ ayat 12:
فَهُمْ
شُرَكَاءُ فِى الثُّلُثِ...............
…Maka mereka
bersekutu dalam sepertiga…..(Q.S. An nisa.Ayat 12)
Prinsip utama dalam Syirkah dalam hukum fikih adalah saling
memegang amanah, baik dalam penglolahan, penggunaan modal dan pembagian laba.
Penggunaan modal harus disepakati kedua belah pihak atau lebih dalam berseikat,
dan pembagian hasil juga harus mendapat kesepakatan dari awal dimulainya
perseriktan, sehingga salah satu dari dua belah pihak atau lebih yang melakukan
perserikatan tidak merasa dirugikan dan tidak merasa terkhianati. Dalam sebuah
hadits qudsi, Allah SWT menjadi pihak ketiga bagi orang yang melakukan
perserikatan.
اَنَا
ثَالِثُ الشَّرِيْكَيْنِ مَالَمْ يَخُنْ اَحَدَهُمَا صَاحِبَهُ, فَاِنْ خَانَ
اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
Saya(Allah)
menjadi pihak ketiga bagi dua orang yang berserikat selagi salah satu dari
mereka tidak berkhianat kepada rekanannya, kemudian jika salah satu dari mereka
mengkhianati rekanannya saya (Allah) akan keluar dari perserikatan keduanya. (Abu Dawud dan Hakim)
Secara garis besar Sayid
Sabiq membagi bentuk-bentuk syirkah dari
sudut pandang menggunakan akad atau tidaknya terbagi dalam dua bentuk,[6]
Pertama Syirkah Amlak,
Syirkah Amlak adalah kepemilikan
bagi lebih dari satu orang terhadap suatu benda atau modal tanpa melalui akad. Dalam
Syirkah Amlak melihat dari segi cara mendapatkanya ada dua macam pula,[7]
Pertama, Syirkah Amlak Iktiyari, Syirkah
ini adalah bentuk
perserikatan yang timbul dari usaha kedua orang yang berserikat, hal ini
seperti perserikatan orang saling memberi satu sama lainnya dan orang yang
saling berwasiat satu sama lainnya. Kedua,
Syirakah Amlak Ijabari, Syirkah Ini adalah perserikatan yang
terjadi pada dua orang atau lebih dengan tanpa usaha mereka, hal ini seperti
perserikatan dalam kewarisan.
Kedua adalah Syirkah Ukud, berbeda dengan Syirkah
Amlak, Syirkah Ukud adalah bentuk Syirkah
yang dalam praktik perserikatanya harus ditandai dengan perjanjian-perjanjian
atau akad antara para pihak yang berserikat. Lebih lanjut Wahbah Zuhaily menukil
definisi syirkah ukud dari ulama Hanafiyah,[8]
bahwa Syirkah Ukud adalah sebuah ungkapan akad (perjanjian) yang dilakukan oleh dua orang
atau lebih pada harta benda (modal) dan laba modal tersebut.
Ada perbedaan pandangan dalam pembagian syirkah ukud, menurut ulama
Hambali bentuk Syirkah Ukud sebagaimana dijelaskan Wahbah Juhaily ada
lima bagian, yaitu, Syirkah Inan, Syirkah Mufawadhoh, Syirkah
Abadan, Syirkah Wujuh dan Syirkah Mudhorobah. Adapu menurut Sayid Sabiq , Malikiya dan Syafi’iyah
mengatakan bahwa Syirkah Mudhorabah
bukanlah termasuk bagian dari Syirkah
Ukud, dan Mudhorabah dibahas secara terpisah dari praktik Syirkah.
Adapun penjelasan tentang beberapa bentuk
syirkah ukud di atas sebgaiamana berikut:[9]
a.
Syirkah Inan adalah perserikatan antara dua orang atau lebih terhadap
harta-harta mereka untuk diperdagangkan, sedangkan laba yang didapat oleh para
pihak dibagi kepada para pihak yang berserikat. Dalam Syirkah ini tidak disaratkan
adanya modal yang sama antara para pihak, dan tidak disaratkan kesamaan jinis
usaha dalam pengembangan modal. Maka diperkenankan dalam syirkah ini perbedaan
modal, artinya bisa saja salah satu pihak lebih banyak modalnya dari pihak yang
lain. Karena boleh ada perbedaan modal bagi setiap para pihak serikat, maka ada
perbedaan laba yang diterimanya yang disesuaikan dengan modal.
b.
Syirkah Mufawadho adalah perserikatan dengan perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk berserikat pada satu
usaha dengan syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat itu meliputi; Kesamaan modal, Kesamaan penggunaan modal, Kesamaan
agama (antara para pihak berserikat) dan antara para pihak yang berserikat
saling menanggung satu sama lainnya.
Dengan
syarat-syarat di atas, maka salah satu para pihak tidak boleh memperbanyak
modal dari yang lain. Jika salah satu dari para pihak lebih banyak modalnya
dari yang lain maka batal akad syirkahnya. Para pihak juga boleh berbeda Agama
dan tidak boleh salah satu dari para pihak ada yang masih anak-anak dan yang
lain sudah dewasa, jika salah satu para pihak ada yang dewasa dan yang lain
masih anak-anak, maka akad syirkah ini tidak sah. Syirkah ini menuntut bagi para pihak untuk
saling menjadi kuasa bagi yang lainnya, dan menjadi penanggung dari yang
lainnya.
c.
Syirkah Wujuh adalah
seperti dua orang atau lebih yang membeli sesuatu barang dari seseorang dengan
tanpa modal yang mereka punya karena kepercayaan terhadap keahlian mereka untuk
berdagang.
Menurut
Abu Bakar Al kasani yang dikutip dalam buku Muhammad Syafii Antonio,[10]
Syirkah ini adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi
dan prestise baik serta ahli dalam berbisnis. Mereka membeli barang secara
kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai. Mereka
berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang
disediakan oleh tiap mitra. Jenis al musyarakah ini tidak memerlukan modal
karena pembelian secara kredit berdasar jaminan tersebut. Karenanya kontrak ini
pun lazim disebut sebagai musyarakah piutang. Syirkah Wujuh juga sama dengan
Syirkah ala Dzmim
d.
Syirkah Abdan, adalah
Syirkah yang dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak berserikat
atau lebih pada sebuah usaha dari berbagai macam usaha yang dimana ujrah (gaji)
yang dihasilkan dari pekerjaan ini menjadi milik bersama para pihak sesuai
kesepakatan awal. Syirkah abdan memiliki istilah lain di sebagian kitab karya
ahli fikih Wahbah Ajuhaily Contohnya menyamakan istilah Syirkah Abdan
dengan Syirkah ‘Amal.
e.
Syirkah Mudharabah,[11]
Syirkah ini menurut Ahmad Syarbasy yang
juga dinukil oleh Muhammad Syafii Antonio adalah akad kerja sama usaha antara dua belah pihak di mana pihak pertama
(shohibul Mal) menyediakan modal, sedangkan pihak lainnya mengelolah.
Keuntungan usaha secara mudhorobah dibagai menurut kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak. Dan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu
bukan akibat kelalaian si pengelolah. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian
penglola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Dalam bab Syirkah ulama mazhab tidak
menspesifikasikan akad bagi setiap bentuk-bentuk Syirkah. Segala bentuk Syirkah
mempunyai rukun akad yang sama, yakni harusnya ada para pihak yang berakad,
adanya sighot akad dan sesuatu yang diakadi. Dalam kitab-kitab fikih di
contohkan akad syirkah yang menjadi sighodul aqdi, sepert شَرَكْتُكَ هَذَا بِالرِّبْحٍ بِكَذَا dan قَبِلْتُ , dan boleh
menggunakan kalimat yang sama dengan lafad syarikah.
Perbedaan pendapat para imam madzab terletak pada
pembatasan rukun syirkah, sehingga dari perbedaan pandangan rukun syirkah ini
menjadikan tidak semua bentuk syirkah menjadi boleh menurut mereka. Perbedaan
rukun syirkah tersebut dipetakan oleh Rachmat Syafi’i sebgaimana berikut,[12]
Hanafiyah menyebutkan rukun syirkah adalah ijab dan qobul, sedangkan rukun
syirkah menurut jumhul ulama aqidain (pihak yang berakad, maqud alaih
(harta/laba) dan shighot.
C.
Aplikasi Musyarakah Dalam Perbankan Syariah Tinjauan DSN.
Musyarakah di dalam bank Syariah
menurut Muhammad Syafii Antonio di aplikasikan kepada dua produk perbankan
syariah, dua produk itu adalah pembiyaan proyek dan modal ventura.[13] Praktik
pembiyaan oleh bank dengan akad musyarakah, pihak bank memberi pembiyaan kepada
pihak pengelolah proyek setelah proyek selesai, maka pihak pengelolah proyek
mengembalikan pinjaman kepada pihak bank dan juga membagi hasil dengan pihak
bank sesuai dengan kesepakatan. Ada pun praktik bank memberi modal kepada pihak
pengelolah perusahaan dan pihak perusahaan, mengelolah modal tersebut dengan
batas waktu yang disepakati dan setelah jatuh tempo pihak perusaan mengembalikan
modal dan membagi hasil dari pengelolahan tersebut.
Menurut fatwa DSN-MUl No.
01IDSN-MUI/X/2013 tentang pedoman implementasi musyarakah mutanaqishah dalam
produk pembiayaan. Disebutkan bahwa Musyarakah mutanaqishah
sebagaiamana berikut:
a. Modal
usaha dari para pihak (Bank Syariah Lembaga Keuangan Syariah [LKS] dan nasabah)
harus dinyatakan dalam bentuk hishshah. Terhadap modal usaha tersebut dilakukan
tajzi'atul hishshah; yaitu modal usaha dicatat sebagai hishshah
(portion) yang terbagi menjadi unit-unit hishshah.
Misalnya modal usaha syirkah dari bank
sebesar 80 juta rupiah dan dari nasabah sebesar 20 juta rupiah (modal usaha
syirkah adalah 100 juta rupiah). Apabila setiap unit hishshah disepakati
bernilai 1 juta rupiah; maka modal usaha syirkah adalah 100 unit hishshah.
b. Modal
usaha yang telah dinyatakan dalam hishshah tersebut tidak boleh
berkurang selama akad berlaku secara efektif.
Sesuai dengan contoh pada huruf a, maka
modal usaha syirkah dari awal sampai akhir adalah 100 juta rupiah (l00 unit hishshah).
c. Adanya
wa 'd (janji).
Bank Syariah/LKS berjanji untuk
mengalihkan seluruh hishshahnya secara komersial kepada nasabah dengan
bertahap;
d. Adanya
pengalihan unit hishshah
Setiap penyetoran uang oleh nasabah
kepada Bank Syariah/LKS, maka nilai yang jumlahnya sama dengan nilai unit hishshah,
secara syariah dinyatakan sebagai pengalihan unit hishshah Bank
Syariah/LKS secara komersial (naqlul hishshah bil 'iwadh), sedangkan
nilai yang jumlahnya lebih dari nilai unit
Pembiayaan dengan Musyarakah
Mutanaqisah ini diberikan kepada perorangan atau perusahaan yang
membutuhkan modal untuk mengembangkan usahanya dengan cara bagi hasil.
Sedangkan usaha yang dimaksud usaha yang tidak bertentangan dengan Syariah.
Tidak ada batasan modal harus pada usaha jenis apa, syariat islam
memperbolehkan setiap usaha yang dilakukan oleh manusia asal tidak dalam
kemaksiatan berupa perjudian, minuman keras, penipuan dan lain sebagainya.
Dalam pembiayaan dengan cara musyarakah di bank
syariah atau lembaga keuangan syariah yang lain juga diberlakukan ketentuan
denda jika si nasabah memperlambat pembayaran atau angsuran, sebagaimana yang
berlaku di lembaga keuangan lain ada denda keterlambatan dan denda kerugian
dimana kedua tersebut harus disesuaikan dengan acuan fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang
Ganti Rugi (ta'widh).
Pada prinsipnya di dalam hukum fikih, akad syirkah
tidak mengenal denda untuk para pihak yang berserikat. Para pihak yang
berserikat dalam hukum fikih dituntut untuk menjadi kuawasa (wali) dari pihak
yang lain, dan memegang kepercayaan atau amanah pada pihak lain, sehingga para
pihak yang berserikat tidak boleh merugikan partner serikatnya, sehingga
keduanya tidak saling berhianat. Dan prinsip keuntungan yang disepakati tidak
menguntungkan salah satu pihak.
Prinsip keuntungan dalam implementasi musyarakah
pada produk bank syariah sebagaimana tertuang dalam putusan fatwa DSN-MUI No.
01/IDSN-MUI/X/2013 Bagian 5 Poin F Proyeksi keuntungan dalam pembiayaan Musyarakah
Mutanaqishah dapat didasarkan pada pendapatan masa depan (future income)
dari kegiatan Musyarakah Mutanaqishah, pendapatan proyeksi (projected
income) yang didasarkan kepada pendapatan historis (historical
income) dari kegiatan Musyarakah Mutanaqishah atau dasar lainnya
yang disepakati. Para pihak dapat menyepakati nisbah keuntungan tanpa
menggunakan proyeksi keuntungan.
D.
Tranformasi Akad Musyarakah Dari Teori Fikih ke Produk Bank
Syariah.
Musyarakah yang dapat diaplikasikan
pada produk bank syariah adalah bentuk Syirkah Inan. yaitu
syirkatul 'inan, yang porsi (hishah) modal salah satu syarik (Bank
Syariah/LKS) berkurang disebabkan pengalihan komersial secara bertahap (naqlul
hishah bil 'iwadli mutanaqishah) kepada syarik yang lain (nasabah). Syirkah
Inan sebagaimana dijelaskan di atas, dalam syirkah ini tidak disyaratkan untuk
adanya kesamaan dalam modal, tidak juga ada kesamaan pekerjaan dan hasil di bagi
atas kesepakatan kedua belah pihak sehingga syirkah ini banyak sering di
praktikan oleh kebanyakan orang.
Lebih lanjut
Wahbah Azuhaily dalam kitab Al Muamalah Al Amaliyah Al Muasyirah mengatakan,
sebagaimana dikutip sebagai dasar pemikiran hukum dalam putusan DSN-MUI No 73/DSN-MU/XI/2008 Tentang
Musayarakah Mutanaqisah.
Musyarakah Mutanaqisah ini dibenarkan
dalam syirkah, Karensebagaimana ijarah
muntahaniyah bi al tamlik—bersandar pada janji dari bank kepada mitra (nasabah)-nya
bahwa Bank akan menjual kepada mitra porsi kepemilikkannya dalam syirkah
apabila mitra telah membayar kepada bank harga porsi bank tersebut.
Di saat berlangsung, musyarakah
mutanaqishah tersebut dipandang sebagai syirkah inan, karena kedua belah pihak
menyerahkan kontribusi ra’sul mal, dan bank mendelegasikan kepada
nasabah-mitranya untuk mengelolah kegitan usaha. Setelah selesai syirkah bank
menjual seluruh atau sebagian porsinya kepada mitra, dengan ketentuan akad
penjualan ini dilakukan secara terpisah yang tidak terkait dengan akad syirkah.
Untuk mengikat para pihak yang melakukan akad Syirkah, maka
perlu adanya perjanjian antara pihak bank dan pihak nasabah, perjanjian-perjanjian
itu meliputi. Satu, bank memberikan modal dan kerja berdasarkan
kesepakatan pada saat akad. Kedua, kedua belah pihak memperoleh
keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati pada saat akad. Ketiga,
kedua belah pihak menanggung kerugian sesuai proporsi modal.
Dalam akad musyarakah mutanaqisah, pihak pertama
(salah satu syarik, LKS) wajib berjanji untuk menjual seluruh hishah-nya secara
bertahap dan pihak kedua (syarik yang lain, Nasabah) wajib membelinya. Setelah
selesai pelunasan, seluruh hishah LKS–sebagai syarik-beralih kepada syarik
lainya (nasabah).[14] Perjanjian-perjanjian
yang dilakukan para pihak harus dituangkan secara tertulis dalam surat kontrak.
Dengan ditulisnya perjanjian-perjanian para pihak dalam surat kontrak di
harapkan para pihak tidak saling menghianati dan melaksnakan kesepakatan
masing-masing.
E.
Analisis Tranformasi Akad.
Akad yang digunakan dalam pembiayaan bank syariah kepada nasabah
adalah akad syirkah Inan. Dalam Syirkah Inan tidak mensyaratkan adanya modal
yang sama dan usaha yang sama, hal ini yang dilakukan oleh pihak bank dan
nasabah. Dimana pihak bank sebagai Syarik pertama dan nasabah (pengembang)
sebagai syarik kedua. Selanjutnya setelah
masa tempo habis bank menjual khisahnya kepada mitra, maka dalam akad
ini pun berlaku akad jual beli.
Hemat saya ada hal yang tidak sesuai jika produk bank berupa
pembiayaan disandarkan pada Syirkah ‘Inan. Karena dalam Syirkah
‘Inan para pihak harus bekerja, walau pekerjaanya tidak disebutkan.
Sementara dalam prinsip Syirkah yang dilakukan oleh bank dan mitra
sebagai pembiyaan, terlihat jelas bahwa yang berkerja hanya mitra yang diberi
pembiyaan oleh pihak bank.
Lebih tepat jika pembiayaan yang dilakukan oleh bank kepada mitra
disandarkan pada akad syirkah mudhorabah atau murabahah, dimana bank sebagai
penyedia modal dan tidak bekerja, mitra bekerja atau mengelolah sesuai dengan
yang disepakati oleh kedua pihak. Ketentuan bagi hasil disepakati bersama dan jenis
usaha juga harus diketahui.
F.
Penutup.
Syirkah dilakukan oleh dua pihak atau lebih, dimana para pihak
membuat perjanjian masing-masing. Menurut bentuknya di beberapa leteratur
syirkah mempunyai lima jenis yang kesemuanya mempunyai karakter masing.
Karekter itu meliputi sikap memberlakukan modal, jenis usaha dan cara melakukan
syirkah. Dari beberapa jenis syirkah dalam fatwa MUI yang dapat diaplikasikan
kepada produk bank syariah syirkah Inan. Syirkah inan memiliki ciri-ciri
perserikatan antara dua orang atau lebih terhadap harta-harta mereka untuk
diperdagangkan, sedangkan laba yang didapat oleh para pihak dibagi kepada para
pihak yang berserikat. Dalam Syirkah ini tidak disyaratkan adanya modal yang
sama antara para pihak, dan tidak disyaratkan kesamaan jenis usaha dalam
pengembangan modal. Maka diperkenankan dalam syirkah ini perbedaan modal,
artinya bisa saja salah satu pihak lebih banyak modalnya dari pihak yang lain.
Pembahasan syirkah sebagai sandaran hukum produk bank syariah dibahas
pada beberapa fatwa DSN-MUI NO 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan
Musyarakah, DSN-MUI No.73/DSN-MU/XI/2008 tentang musyarakah
mutanaqisah, DSN-MUI No. 01/IDSN-MUI/X/2013 tentang pedoman implementasi
musyarakah mutanaqisah dalam produk pembiayaan.
Adapun pembiayaan yang dimaksud menurut Muhammad Syafii Antonio adalah
pembiayaan Proyek dan pembiayaan modal
ventura-suatu investasi dalam bentuk pembiayaan berupa pernyataan ke dalam
suatu perusahaan swasta sebagai pasangan usaha (Investee Company) untuk jangka
waktu tertentu.
DAFTAR
PUSTAKA
Dr. Muhammad
Syfii Antonio. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Gema Insani. Jakarta.
2001.
Dr.Wahbah
Az Zuhaily. Al Fikihul Islam Wa Adilatuhu. Darul Fikr, Damaskus. Tahun 2008.
Jus IV
Sayid
Sabiq. Fikih Sunnah. Maktabah ‘Asyryah, Lebanon.Tahun 2011.Juz III.
Abi Yahya
Zakariyah Al Ansory. Al Hidayah, Surabaya. Juz I.
Prof.
Dr. H. Rachmad Syafi’i. MA. Fiqih Muamalah. Pustaka Setia, Bandung.
DSN-MUI NO 08/DSN-MUI/IV/2000
DSN-MUI No.
43/DSN-MUI/VIII/2004
DSN-MUI No.73/DSN-MU/XI/2008
DSN-MUI No.
01IDSN-MUI/X/2013
[1]
Dr. Muhammad Syfii Antonio. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Gema Insani.
Jakarta. 2001. Hal 29
[2]
Dr.Wahbah Az Zuhaily. Al Fikihul Islam Wa Adilatuhu. Darul Fikr, Damaskus.
Tahun 2008. Jus IV. Hal.587
[3]
Sayid Sabiq. Fikih Sunnah. Maktabah ‘Asyryah, Lebanon.Tahun 2011.Jus III.
Hal.210
[4]
Abi Yahya Zakariyah Al Ansory. Al Hidayah, Surabaya. Juz I. Hal. 217
[5]
Ibid. Dr. Wahba Az Zuhaily……….
[6]
Ibid. Sayid Sabiq………… Hal.211
[7]
Ibid. Dr. Wahbah Zuhaily…… Hal.589
[8]
Ibid. Hal.589
[9]
Ibid.Sayid Sabiq….. Hal. 212
[10] Dr. Muhammad Syafii Antonio……….. Hal 93
[11]
Ibid. Hal 95
[12]
Prof. Dr. H. Rachmad Syafi’i. MA. Fiqih Muamalah. Pustaka Setia, Bandung. Hal.
188
[13]
Ibid Muhammad Syafii Antonio…….. hal 93.
[14]
Lihat DSN-MUI
No 73/DSN-MU/XI/2008
Komentar
Posting Komentar