METODOLOGI DAN PENDEKATAN STUDY ISLAM ERA KLASIK DAN MODERN



Oleh : Agus Salim
A.      Pendahuluan
Disadari atau tidak peradaban manusia lahir bersamaan dengan lahirnya agama-agama atau keyakinan yang mereka anut. Sebagaimana lahirnya agama Islam di jazirah Arabia yang membawa peradaban baru di antara kaum bani Israil dan lahirnya agama lain di Negara lain mengubah peradaban lama sebelum lahirnya agama-agama tersebut. Tidak salah jika dikatakan bahwa setiap agama mempunyai fungsi mengubah peradaban baru kepada peradaban yang lebih baik.
Lahirnya agama Islam pada saat itu mengubah kebiasaan-kebiasan buruk penduduk Makkah-Madinah dan pada gilirannya mengubah Negara-negara yang menjadi wilayah Islam selanjutnya. Islam mudah saat itu hanya butuh waktu kurang-lebih 37 tahun untuk mengislamisasikan beberapa wilayah di timur tengah dan pada gilirannya mengislamisasikan dunia hingga saat ini.
Dalam perkembangan agama Islam mulai awal lahirnya hingga saat ini memiliki daya tarik para peneliti untuk menjadikan Islam sebagai obyek penelitiannya, hingga pada akhirnya muncullah disiplin ilmu  dengan Metodologi dan Pendekatan Study Islam yang mempelajari tentang apa saja yang berkaitan dengan  agama Islam. Ilmu Metodologi dan Pendekatan Study Islam dalam masa kemasa mengalami perubahan-perubahan, hingga pada gilirannya penting untuk mengkaji ulang bagaimana metodologi dan pendekatan study Islam itu berkembang.
B.       Rumusan Masalah
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa agama Islam menajadi obyek penelitian dan dalam penelitian tersebut ditemukan metodologi dan pendekatan tertentu dalam mempelajari agama Islam, maka penyusun makalah ini merumuskan masalah dalam tulisannya agar lebih mudah difahami dan tidak keluar dari obyek pembahasan dan relevan dengan judul yang diangkat. Rumusan masalah tersbut meliputi :
1.      Kapan Metodologi dan Pendekatan Study Islam Itu mulai berkembang dalam agama Islam, dan Apa Metodologi dan Pendekatan yang digunakan dalam mempelajari Islam pada  masa klasik?
2.      Kapan Metodologi dan Pendekatan Study Islam era modern dimulai, dan Apa Metodologi dan Pendekatan yang digunakan dalam mempelajari Islam pada masa Modern?
3.      Apa perbedaan antara metodologi dan pendekatan study Islam era klasik dan era modern.

C.      Metodologi Dan Pendekatan Study Islam Era Klasik.
Berbicara tentang study Islam era klasik memerlukan penegasan tentang berbagai hal: makna study Islam, bidang study Islam dan batas waktu yang termasuk klasik, sebab sebagai agama yang mencakup segala aspek kehidupan manusia telah dikaji dari berbagai segi, dan telah melahirkan berbagai macam cabang ilmu ke-Islam-an, seperti ilmu tafsir, ilmu Hadits, ilmu fiqih, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, ilmu filsafat dan sebagainya. Masing-masing cabang ilmu itu mengalami sejarahnya sendiri-sendiri, sehingga seolah-olah masing-masing cabang ilmu itu berdiri sendiri, terpisah hubungannya dengan cabang ilmu lainnya,   dengan kosekuensi terjadinya disentegrasi  antara cabang-cabang ilmu ke-Islam-an itu. Bahkan tejadi olok mengolok antar ahli cabang ilmu yang satu terhadap yang lain yang sehingga sekarang masih terasa pengaruhnya.[1]
Sejauh penulis membaca beberapa letaratur tentang study Islam, penulis belum menemukan kapan Islam menjadi obyek kajian. Namun melihat sejarah Islam kita dapat menyimpulkan bahwa agama Islam pada masa awal lahirnya sudah menjadi kajian para penganutnya, Ahmad Azhar Basir dalam tulisannya menyatakan secara impisit bahwa Study Islam Klasik adalah masa sebelum kebangkitan abad ke-14 H, maka dalam hal ini penulis mencoba merumuskan metodologi dan pendekatan study Islam klasik menjadi tiga bagian yakni;
I.         Masa Nabi Muhammad.
 Para penganut Islam pada saat masa nabi Muhammad mengkaji Islam tentang tuhan yang wajib disembah adalah Allah, tiada tuhan selainnya dan Nabi Muhammad adalah utusanNya. Kabar bahwa tuhan yang wajib disembah adalah Allah adalah kabar yang dibawa oleh seorang Rasul dari suku Qurais bernama Muhammad Bin Abdullah. Hal ini dibenarkan oleh Huston Smith,[2] menurutnya Muhammad terlahir  didalam suku terkemuka Makkah, suku Qurais, pada kira-kira 570 M. Dia diberi nama Muhammad “yang terpuji” kedua orangtua beliau wafat saat beliau masih kecil.
Muhammad diangkat menjadi Nabi oleh tuhannya pada umur 25 tahun, dan menjadi seorang Rasul dan mendapat wahyu pertama kira-kira pada tahun 610 M, pada saat itu Nabi tepat berumur 40 tahun. Pengikutnya belajar Islam padanya, pertama yang Nabi kenalkan dalam Islam adalah tuhan. Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Ustusan Allah, Untuk mengenal Allah dan RasulNya,  penganut Muhammad menggunakan pendekatan khabar darinya dan dari Qur’an sebagai kitab suci orang muslim.
Setelah Nabi Muhammad memberikan khabar bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka ia juga mengenalkan ibadah yang diwajibkan oleh Allah pada pengikutnya melalui wahyu, kemudian ia juga mengabarkan tentang hukum-hukum Allah dan kabar-kabar orang terdahulu dan orang yang akan datang yang secara historisti diceritakan dalam Qur’an. Pada masa itu tidak ada pendekatan atau metodologi mempelajari ajaran Islam kecuali menanyakan langsung kepada Nabi, Nabi menetapkan sesuatu, mengatakan sesuatu dan melakukan sesuatu untuk mendidik para pengikutnya dalam mempelajari ajaran Islam saat itu.
II.      Masa Khulafaur Rasidin.
Setelah Nabi meninggal maka kekuasan dipegang oleh sahabat tertuanya Abu Bakar As Sidik dan begitu selanjutnya kekhalifahan dipikul oleh khulafaaur Rasidun. Sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Daud Ali,[3] setelah beliau (Abu Bkar) meninggal dunia, berturut-turut khalifah kedua ketiga dan keempat adalah Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Pemerintah  keempat para khalifah ini berlangsung selama 30 tahun, dari 632 M sampai dengan tahun 662 M, para keempat khalifah ini terkenal dengan sebutan Al Khulafa Rasidin. Artinya, para khilafah yang menuntun umat Islam kejalan yang benar. 
 Pada masa ini, muncul kejadian-kejadian baru yang tidak terjadi pada masa Rasullullah, sehingga di antara para sahabat ada yang melakukan ijtihad, memutuskan suatu perkara, memberikan fatwa, menetapkan hukum syari’at dan menyandarkan pada hukum-hukum periode pertama sesuai dengan hasil ijtihadnya. Sehingga hukum-hukum fekih  pada periode ke dua terdiri dari hukum Allah dan Rasul-nya, serta fatwa sahabat dan keputusannya yang bersumber dari Al Qur’an, al Sunnah dan ijtihad Sahabat.[4]
III.   Masa Khalifah Umayah dan Abasiyah.
Pada masa ini masalah-masalah keagamaan mulai berkembang, keadaan ini memaksa para khalifah dan para pemuka agama mencari solusi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan umat, baik dalam hukum, politik dan social masyarakat. Selain itu, kemajuan berfikir orang-orang pada saat itu menggerakan upaya-upaya mereka dalam menjaga keorisinilan Qur’an dan Hadits. Pada masa ini bukan hanya pengkodifikasian Qur’an dan Hadits saja yang mereka lakukan, muncul pula upaya-upaya perowihan Hadits dan penafsiran Qur’an.
Menurut Muhammad Khudhori Bek,[5] Pada masa ini sebagai masa baru bagi Sunnah, karena para perawinya mendapatkan peringatan tentang wajib pengumpulan (tanshif) dan penyusunan. Makna tanshif  adalah mengumpulkan Hadits-Hadits yang satu macam dalam satu judul sebagiannya dengan sebagian yang lain, seperti Hadits  Sholat, Puasa dan semisalnya. Pemikiran ini ada di seluruh Negeri Islam dalam waktu berdekatan, sampai tidak diketahui siapa yang dahulu memikirkannya. Penyusun tingkatan pertama pada masa ini adalah Malik Bin Anas di Madinah, Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij di Makkah, Sufyan At-saury di Kuffah, Hammad Bin Salamah dan Said bin ‘Arubah di Bashrah, Husyaim bin Basyir di Yaman, Abdullah Bin  Al Mubarak di Kurasan dan Jarir Bin Abdul Hamid di Ray. Itu adalah pada tahun 145-an H, dan Hadits pada kitab-kitab ini bercampur dengan perkataan-perkataan sahabat dan tabi’in sebagaimana kita lihat dalam kitab Muatho’ imam Malik RA.
Tingkat kedua setelah mereka memandang untuk memisahkan Hadits Rasullah SAW dari selainnya dan itu lebih dari dua ratus, maka mereka mengarang Musnad seperti Sanad ‘Abdullah bin Musa Al Kufy, Musaddad bin Musarhid Al Bashry, Asad bin Musa Al Mishry, Nua’im bin Hammad Al Khuza’I, Ishak bin Rahawaih, Ustman bin Abi Syaibah dan Al Imam Ahmad bin Hambal. Mereka menetapkan Hadits di dalam Musnad perawi-perawinya, maka mereka menyebut Musnad Abu Bakar Ashiddiq dan menetapkan semua periwayatan darinya,kemudian menyebutkan setelahnya para sahabat satu persatu seperti bentuk ini. Di antara Musnad  seperti ini yang sampai pada kita adalah Musnad Al Imam Ahmad Bin Hambal.[6]
Pada tingkat selanjutnya muncul beberapa ahli yang memisahkan Hadits shoheh dan Hadits yang bukan shoheh, beliau adalah Abdullah Muhammad bin Ismail Al Bukhori Al Ja’fy yang meninggal tahun 257 H dan Muslim bin Al Hajjaj An Nasabury yang meninggal tahun 261 H. Mereka mengarang kitab Shahih setelah meneliti riwayat dan berusaha keras untuk itu, begitu juga muncul ulama setelahnya yang memiliki peran sama dengan Imam Bukhory dan Muslim beliau adalah Abu Daud Sulaiman Bin Al Asy’at As Sajistany yang wafat tahun 275 H, Abu Isa As Silmy At Tirmidzi wafat tahun 279 H, Abdullah Muhammad bin Yazid Al Qazwiny atau dikenal dengan Ibnu Majah wafat tahun 173 H dan Abu Abdurahman Ahmad  Bin Syua’ib An Nasa’I wafat pada 303 H. kitab kitab mereka kita kenal dengan Kutubu Sittah yang artinya kitab yang enam.
Adapun beberapa metode para ulama pada saat ini selain memisahkan Hadits-hadits yang dari Nabi dan sesuatu bukan Hadits, begitu juga memisahkan Hadits shoheh dan selain Hadits shoheh. Pada masa ini sebagaimana diterangkan oleh Muhammad  Khudory Bek, para ulama juga mensifati setiap orang dengan haknya dari segi dhabit, sitqa,  adil atau lawan-lawanya. Mereka ini yang disebut dengan ahli Jareh Wata’dil. Maka barang siapa yang mereka ta’dilkan riwayat mereka diterima, dan barangsiapa yang mereka jerh, maka haditsya ditinggalkan.
Di masa ini perhatian ulama-ulama bukan hanya pada Hadits saja, mereka juga menunjukan perhatian pada Qur’an. Mereka menyadari Qur’an bukan hanya untuk dibaca dan difahami secara makna teks saja, lebih dari itu mereka meyakini bahwa banyak hal yang dapat diteliti dari pada Qur’an, sehingga pada gilirannya pada masa ini timbul juga ilmu Ulumul Qur’an.
Abdul Djalal.H.A dalam bukunya menjelaskan,[7]  Orang pertama kali mengarang tafsir ialah Syubah bin Hajaj (wafat 160 H), Sufyan bin Uyainah (wafat 197 H) dan Waki bin Jarrah (wafat 197 H), mereka termasuk ulama Abad ke II. Tafsir yang mereka tulis itu berupa koleksi pendapat-pendapat sahabat dan Tabi’in yang kebanyakkan belum dicetak, sehingga tidak sampai pada generasi sekarang. 
Setelah meraka, muncul ibnu Jarir Ath Thabari (Wafat 310 H) yang mengarang kitab tafsir Athabary, yang bernama Jaami’ul Bayan fi Tafsiril qur’a. Tafsir At Thabari ini merupakan kitab tafsir yang paling besar dengan makakai metode Muqoran (kompertif). Sebab beliau orang yang pertama kali menafsirkan  ayat-ayat Al Qur’an dengan mengemukan pendapat-pendapat para ulama, dan membandingkan pendapat sebagian mereka dengan pendapat sebagian yang lain, beliau juga menerangkan segi ‘itibar dan istimbatil hukumnya.[8]
Pada masa sebelumnya para ulama banyak yang takut untuk menafsirkan Qur’an hingga metode penafsiranya hanya menggunakan metode Muqoranah saja. Masa selanjutnya para penafsir Qur’an dari kalangan ulama semakin banyak, mereka menggunakan metode Tafsir Bil Ma’sur yakni menafsirkan dengan menggunakan sumber-sumber panafsiran Atsar saja, ada pula yang menggunakan tafsir Bir Ra’yi, yakni mamakai sumber-sumber ra’yu, dan ada pula yang menggunakan metode campuran.
Menurut sejarah, perhatian terhadap Qur’an bukan hanya pada ilmu tafsirnya saja, para ulama terdahulu juga mengarang ilmu Qur’an yang lain, Mereka mengarang ilmu Asbabun Nuzul, beliau yang pertama kali mengarang kitab ilmu Asbabun Nuzul adalah Ali Ibnu Madini (234 H),  beliau adalah guru imam Bukhori, kemdian Abu Ubaid Al Qasim bin Salam (224 H) mengarang tentang kitab Nasikh wan Mangsukh, kemudian M. Ayub Adh Dhiris (294 H), beliau menulis Ilmu Makki Wal Madani dan Muhammad bin Khalaf Al Marzuban (309 H), beliau mengarang kitab Al Hawi Fil Ulumil Qur’an.[9]   
Di masa ini sejarah telah mengukir bahwa keilmuan Islam berkembang pesat, tidak hanya munculnya ilmu-ilmu Hadits dan Ilmu Qur’an. Pada masa ini juga muncul ilmu-ilmu baru seperti ilmu Fiqih, ilmu Kalam, ilmu tata bahasa arab dan lain sebagainya. banyaknya disiplin ilmu yang muncul belakangan tersebut menjadi bukti bahwa pada masa itu keilmuan Islam berkembang pesat.
Dalam bidang Fiqih kita mengenal beberapa imam Madzahab, Imam Abu Hanifah (Nu’man Bin Tsabit) lahir pada 80 H di Kufah. Sebagaimana yang dijelaskan Muhammad Khudhori Bek, Abu Hanifah adalah seorang imam dalam Qiyas.  Metode dalam Istimbath sebagaimana ia katakana sendiri “saya mengambil dari kitab Allah, apa bila saya tidak mendapatkannya saya akan melihat sunnah Rasullah, apabila saya tidak mendapatkan dalam kitab Allah dan Sunnah Rasullah SAW, maka saya mengambil perkataan-perkataan sahabat dari siapa yang saya inginkan dan meninggalkan siapa yang saya inginkan, kemudian saya tidak akan keluar dari perkataan mereka kepada perkataan selainnya. Apabila telah sampai kepada Ibrahim, Ass Sya’by, Al Hasan, Ibnu Sirin dan Sa’id bin Al Musyayab, Maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”.[10] Abu Hanifah terkenal dengan metode ihtisannya.
Malik Bin Anas bin Abi Amer lahir pada tahun 93 H di Madinah. Beliau juga dikenal sebagai guru Hadits dan ia memiliki dua julukan yang pertama ia dijuluki ahli Hadits dan yang kedua dijuluki Mufti. Imam Syafi’I pernah belajar padanya tentang Hadits, terbukti imam Syafi’I telah menghafal kitab Mu’ato’ Imam Maliki. Sebagaimana imam Hanafi yang melakukan istimbath dengan cara melihat Qur’an dan hadits, setelah tidak menemukan hukum di dalam Qur’an dan Hadist ia melihat sahabat dan jika tidak ditemukan, beliau akan berijtihad. ia terkenal dengan metode Istishlah.
Abu Abdilah Muhammad bin Idris bin Al ‘Abbas bin Ustaman bin Syafi’I Al Mutholiby lahir di Ghaza, ia memiliki pendapat yang kita kenal dengan Qaul qodim dan Qaul jadid. Menurut Muhammad Khudhory Bek, dasar madzhab  Asy Syafi’I disusun dalam Risalah Ushulnya. Dia berhujah dengan bentuk-bentuk Dhohir Al Qur’an samapai ada dalil yang menunjukan bahwa yang dimaksud bukan Dhahirnya, kemudian sunnah dan dia sangat membela untuk beramal  dengan khabar Ahad selama rawinya tsiqoh, dhobith dan selama hadits itu bersambung pada Rasullah SAW.[11] Imam syafi’I adalah termasuk salah satu dari guru Imam Hambali, Beliau terkenal dengan metode qiyasnya.
Imam Ahmad bin Hambal bin hilal Adz Dzihiy Asy Syaibani Al Marwazy Al Baghdady lahir tahun 164 H. ia beramal dengan Hadits ahad tanpa syarat “ketika sanadnya shahih” seperti metode imam syafi’I dan beliau mendahulukan perkataan sahabat dari Qiyas.
IV.   Mongoliyah Dan Ustmaniyah.
Yang dimaksud dengan era Mongoliyah adalah kisaran tahun 656-925 H, pada masa ini sebagaimana ahli sejarah mengatakan bahwa Islam mengalami kemuduran. Setelah dinasti Samaniah runtuh, Samarkhan dan Bukhara jatu ke tangan dinasti Saljuk Sanjar yang kemudian dihacurkan oleh pasukan mongol di bawah pimpinan Jengis Khan (616 H/1220 M). Selama 500 tahun berikutnya sejarah keduanya menyedihkan.[12]
Pengaruh runtuhnya dinasti Samaniah menyebabkan pindahnya kegitan keilmuan pada masa Abasiyah berpusat di kota-kota Baghdad, Bukhara, Naissabur, Sevilla berpindah ke kota Kairo, Iskandariyah, Ushuth, Damaskus dan kota-kota lain  di Mesir dan Syam. Di zaman ini pula banyak buku-buku dan perpustakaan-perpustakaan bersama dengan kekacauan penaklukan oleh kaisar Mongol di timur dan penyarangan di Spanyol.
Sedangkan yang dimaksud dengan era Utsmaniayah adalah kisaran tahun 925-1075 H.  Munculnya kerajaan Utsmani adalah setelah runtuhnya Turki Saljuk oleh kekasiaran mongol.  Secara singkat, sejarah mencatat pada masa ini, sendi-sendi Islam mulai bangkit, terbukti dengan direbutnya  Brousse oleh Sultan Urkhan Bin Ustman (726-761 M) dan Sultan Murad II bin Muhammad (824-855H) yang menguasai Hongaria, Falokah dan lain sebgainya.

D.  Metodologi Dan Pendekatan Study Islam Era Modern.
Study Islam era modern dimulai dari abad 19-20 H atau abad 15 H hingga sekarang. Pada masa awal ini muncul banyak ulama-ulama yang mengarang kitab-kitab tentang agama Islam. Abdul Djalal H.A menyebutkan beberapa pengarang kitab Tafsir dan Ulumul Qur’an lainnya pada setelah abad ini di dalam bukunya, sebagian dari mereka pengarang kitab tafsir dan Ulumul Qur’an adalah Ad Dahlawi dengan kitabnya  Al Fauzul Kabir Fi Ushuli Tafsir, Jamaluddin Al Qosimi dengan kitabnya Al Qur’an Wal Ulumil ‘Ashiriyah, Sayid Qutub dengan kitabnya At Tasfirul Fanni Fil Qur’an dan Dhilalil Qur’an, Dr. Mahmud Hijazi  dengan kitabnya Tafsir Al Wadhih dan Wahdhatul Maudhuiyah, Prof. M.Ali Ash Shabuni dengan kitabnya Rauiyul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam Minal Qur’an dan lain sebgainya.
Selain munculnya beberapa ulama yang mengarang kitab disiplin ilmu-ilmu tentang Islam, pada abad ini juga memunculkan para pembaharu (Mujadid). Munculnya Muhammad Abduh yang lahir pada tahun 1849 M, ia mempunyai murid yang bernama Muhammad Mursid Ridha, Abduh dan Ridha pada itu menerbitkan majalah Al Manar. Salah satu tujuan pokok gerakan Muhammad Abduh adalah memberantas taklid, bid’ah dan kejumudan yang dipandang sebagai kemunduran agama Islam, dan menekankan keharusan melakukan ijtihad untuk melakukan interprestasi baru terhadap Qur’an dan Hadits khususnya tentang kemasyarakatan yang digariskan oleh Allah pada tataran prinsip Umum.[13]
Di Indonesia ada K.H. Ahmad Dahlan yang mendirikan organisasi besar pada tahun 1912, organisasinya kita kenal dengan Muhammadiyah, kemudian pada tahun 1926 tepatnya 31 Januari berdiri Nahdhotul Ulama di bawah pimpinan K.H Hasyim ‘Asy’ari, dimana kita ketahui lahirnya Nahdhotul Ulama lahir atas reaksi ketidak setujuan terhadap raja Saud yang ingin membongkar pusaran Nabi Muhammad saat itu (Baca Sejarah Lahirnya Muhammadiyah Dan Nahdhotul Ulama).
Dalam disiplin ilmu Islam Indonesia, kajian Islam juga menjadi perhatian penting para ilmuan Indonesia. Kajian Islam Indonesia dapat ditengarai kemajuannya melalui karya-karya disiplin ilmu Islam ulama Indonesia. Indonesia mempunyai Muhammad Nawawi Al Bantani (1813-1897 M), beliau mengarang kitab Tauhid, Tafsir, Fiqih dan Hadits. Kiatab yang biasa dikaji dikalangan pesantren adalah Tijanud Durari dan Fathul Majid untuk Ilmu Tauhid, Tafsir Munir untuk Tafsir dan Ad Durar Al Bahiyah untuk kitab Hadits. Terhitung lebih dari 38 Judul dari berbagai macam disiplin ilmu yang beliau telah tulis. Kemudian ada pula Muhammad Yasin Al Padani (1915-1990M), beliau mengarang banyak judul kitab dalam disiplin ilmu Islam, setidaknya ada 20an kitab yang beliau karang, salah satu kitabnya yang terkenal adalah Al Fawaid Al Janiah Ala Qowaidul Fiqihiyah (Baca Biografi Muhammad Nawawi Al Bantani Dan Muhammad Yasin Al Fadani).
Kajian tentang agama Islam pada abad ini tidak hanya berkembang di Negara-negara timur melainkan kajian tentang Islam juga berkembang   di Negara barat. Hal ini sebagaimana kita bisa temui dengan adanya kajian bahasa Arab oleh pakar bahasa dari Jerman  Johann Jokab Reiske (1716-1774 M). Kajian-kajian bahasa Arab berkembang secara luas di Eropa sejak pemulaan abad ke 19. Salah satu dari ahli-ahli dalam bidang ini adalah seorang sarjana Francis A.I  Sylvestre de Sacy (1758-1838),[14] dan masih banyak lagi sarjana-sarjana dari Eropa yang mengkaji tentang Islam.
Baik di barat atau di timur pada tahun 1920- sekarang , perhatian tentang Ilmu keislaman dan agama Islam bukan hanya saja bersifat teologis dan ibadah saja, para peneliti memperluas kajianya pada banyak subyek disiplin ilmu yang ada pada agama Islam. Dalam buku Aneka Pendekatan Agama (Sebuah kumpulan naskah Peter Connolly), kita bisa temukan di sana bahwa kajian tentang agama pada tulisan di dalam buku itu menggunakan beberapa pendekatan, pendekatan-pendekatan itu adalah  Antropologi. Fenomenologi, Feminis, Filosofis, Sosiologis dan Teologis.  

E.  Penutup.
Kajian Islam yang semula hanya bertitik pada kepercayaan, Ibadah serta Muamalah pada masa klasik  (Masa Nabi- Abad 19 M) mengalami pergeseran yang sangat signifikan jika ditilik dari perkembangan keilmuan dan metodologi dan pendekatan kajian Islam. Hal ini seperti yang kita tahu bahwa di masa Nabi kajian keilmuan Islam belum terlalu banyak hingga hanya menelurkan beberapa disiplin ilmu saja. Namun setelah lahirnya dinasti Umayah dan Abasiyah, disiplin ilmu yang mengkaji Islam sudah sangat banyak, lahir ilmu Tafsir, ilmu Hadits, ilmu Fiqih dan ilmu Ushul Fiqih, hal ini hemat saya karena perkembangan keilmuan Islam bergantung pada obyek kajian dan metodologi dan pendekatan  tertentu yang digunakan oleh peneliti saat itu.
Hal ini coba diubah oleh intelektualis abad 19 M – hingga sekarang. Keberanian para peneliti pada masa abad modern ini menunjukan arah yang positif terhadap masa depan kajian Islam pada masa selanjutnya. Pendekatan dan metodologi untuk menggali kajian Islam dianggap tepat, hal ini karena megkaji Islam bukan hanya lagi melalui teks atau secara teologis saja, lebih dari itu pendekatan lain seperti Antropologi, Fenomenologi, Feminis, Filosofis dan  Sosiologis ini juga dibutuhkan untuk mengkaji Islam dewasa ini, sehingga pada giliranya Islam dapat dilihat dari arah mana saja.


DAFTAR PUSTAKA
Amin Abdullah (pengantar), Metodologi Penelitian Agama, Sebuah Pengantar. (Ahmad Azhar Basir) . PT Tiara Wacana Yogya. 1989.
Huston Smith (FX Dono Sunardi Dan Satrio Wahono), Agama-Agama Manusi ,PT. Serambi Ilmu Semesta. Jakarta. 2015.
Dr. H. Mohammad Daud Ali.SH. Hukum Islam , Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam Indonesia. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Cet 16. 2011.
Prof. Dr. Abdul Wahab Kholaf ( Faiz  El Muttaqin.S.Ag), Ilmu Ushul Fikih, Pustaka Amani, Jakarta. Cet I. 2003.
Syekh Khudhori Bek (Pakih Sati), Sejarah Hukum Islam. CV. Nuansa Auliaya’. Bandung. 2009.
Prof. H. Abdul Djalal. Ulumul Qur’an. Dunia Ilmu. Surabaya. Cet III.2008.
H. Fatah Sukur NC. Sejarah Peradaban Islam. Fakultas Tarbiyah Walisongo. Semarang.2008. Cet. I
Prof. Dr. Azim Nanji (Ed). Peta Studi Islam;Orientalisme dan Arah baru Kajian Islam Barat. Fajar Pustaka Baru. Yogyakarta. 2003.
http://suararisalah.blogspot.co.id/2014/07/biografi-muhammad-abduh-pembaharu.html


[1] Amin Abdullah (pengantar)Metodologi Penelitian Agama, Sebuah Pengantar. (Ahmad Azhar Basir) . PT Tiara Wacana Yogya. 1989.Hal. 113
[2] Huston Smith (FX Dono Sunardi Dan Satrio Wahono), Agama-Agama Manusi Terj,PT. Serambi Ilmu Semesta. Jakarta. 2015. Hal .256
[3] Dr. H. Mohammad Daud Ali.SH. Hukum Islam , Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam Indonesia. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Cet 16. 2011. Hal. 171
[4] Prof. Dr. Abdul Wahab Kholaf ( Faiz  El Muttaqin.S.Ag), Ilmu Ushul Fikih, Pustaka Amani, Jakarta. Cet I. 2003.Hal 6
[5] Syekh Khudhori Bek (Pakih Sati), Sejarah Hukum Islam. CV. Nuansa Auliaya’. Bandung. 2009.Hal.191
[6] Ibid. Syekh Khudhori Bek (Pakih Sati), ……………………Hal 191-192
[7] Prof. H. Abdul Djalal. Ulumul Qur’an. Dunia Ilmu. Surabaya. Cet III.2008 .Hal 31-32
[8] Ibid
[9] Ibid. Prof. H. Abdul Djala. Hal 32
[10] Ibid. Muhammad Khudory Bek. Hal 238
[11] Ibid Hal.258
[12] H. Fatah Sukur NC. Sejarah Peradaban Islam. Fakultas Tarbiyah Walisongo. Semarang.2008. Cet. I.Hal 148
[13] http://suararisalah.blogspot.co.id/2014/07/biografi-muhammad-abduh-pembaharu.html
[14] Prof. Dr. Azim Nanji (Ed). Peta Studi Islam;Orientalisme dan Arah baru Kajian Islam Barat. Fajar Pustaka Baru. Yogyakarta. 2003. Hal. 3

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI HUKUM ISLAM

KARAKTERISTIK EKONOMI ISLAM DAN TUJUANNYA