SUBYEK HUKUM DALAM HUKUM ISLAM
Oleh: AGUS SALIM
Pembahasan
subyek hukum tidak dapat dipisahkan dari tiga hal yang masih bertalian erat
dengannya, tiga hal tersebut adalah si pembuat hukum, penegak hukum dan pelaku/subyek hukum. Ketiganya memiliki
istilah khusus dalam hukum Islam, si
penegak hukum disebut dengan hakim, hukum sendiri disebut mahkum bih, si pelaku/subyek
hukum disebut mahkum alaih dan obyek hukum disebut mahkum
fih. Pembuat hukum (syari’) dalam hukum Islam adalah Allah,
rasul, para ulama madzhab, dan para ahli dalam bidang hukum islam (fukoha).
Sedikit
ada perbedaan sudut pandang antara hukum Islam dan hukum perdata nasional
mengenai subyek/pelaku hukum. Kita telah ketahui bersama bahwa subyek hukum
dalam hukum perdata nasional adalah meliputi manusia dan badan hukum. Hal
berbeda dalam hukum Islam, hukum Islam mengakui subyek hukum hanya
manusia.
Dalam
makalah ini tidak akan membahas ketiganya, makalah ini akan membahas tentang
subyek hukum menurut hukum islam. Pembahasan subyek hukum dalam makalah ini
meliputi pengertian, dasar subyek hukum didalam qur’an dan hadist, pembagian
subyek hukum dari segi hak dan kewajibannya dan penafian manusia sebagai subyek
hukum dan akibatnya.
A.
Pengertian
Subyek Hukum Menurut Hukum Islam.
Dalam
kitab-kitab Fiqih ataupun ushul Fiqih istilah subyek hukum menggunakan istilah mahkum alaih dan mukalaf. مُكَلَفٌ adalah isim maf’ul dari fi’il madhi كَلَفَ dan fi’il mudhore يُكَلِفُ yang artinya orang yang terbebani, mukalaf Menurut istilah orang-orang muslim yang sudah
dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya.[1]
Menurut Prof.
Dr. H. Rachmat Syafi’I dalam bukunya mengatakan Mahkum Alaih adalah orang
yang telah dianggap mampu bertindak hukum dan layak mendapatkan beban hukum
(taklif), baik yang berhubungan dengan perintah Allah atau larangan Allah.[2]
Abdul Wahab
Kholaf memberi syarat bagi orang yang disebut mukalaf, syarat itu pertama adalah Mukalaf Mampu memahami dalil taklifi (Pembebanan), seperti
dia harus mampu memahami nash-nash hukum yang dibebankan kepadanya dari al
Qur’an dan As -sunnah secara langsung atau dengan perantara.[3]
Kedua, Mukalaf adalah ahli dengan sesuatu yang dibebankan
padanya, Ahli menurut bahasa artinya
layak dan pantas.[4]
Dari definisi mukalaf di atas, maka dapat
disimpulkan bahwah mukalaf adalah orang yang berakal dan dewasa yang dianggap mampu oleh
hukum untuk bertindak sebagai pelaku hukum dan mengerti tentang kewajiban dan
larangan yang dibebankan padanya. Dengan demikian orang yang tidak berakal
seperti orang gila, ayan atau orang dalam keadaan tidur tidak disebut dengan
subyek hukum secara penuh, sebab mukalaf adalah orang yang berakal. Begitu juga
orang yang belum dewasa tidak bisa sebagai subyek hukum secara penuh, sebab
mukalaf harus orang yang telah baligh, dan juga orang yang belum mengetahui
atau belum sampai kepadanya hukum syariat, ia tidak dikatakan mukalaf sebab
mukalaf adalah orang yang harus mengerti tentang hukum wajib dan larangan dari
nash atau dari orang lain.
B.
Dasar
subyek hukum subyek hukum.
Dasar penetapan
subyek hukum dalam hukum Islam adalah diambil dari Surat Al Baqarah ayat 286 yang berbunyi:
لاَيُكَلِفُ
اللَّهُ نفْسًا اِلاَّ وُسْعَهَا........الاية
Artinya:
Allah tidak membebani seseorang kecuali
dengan kesanggupannya…..
Tentang sanksi
hukum tidak akan dibebankan pada mukalaf sebelum diutusnya utusan terlebih
dahulu hal ini diterangkan dalam surat Al Isra’ Ayat 15.
وَمَاكُنَّا
مُعَذِبِيْنَ حَتَى نَبْعَثَ رَسُوْلاً
Artinya: Dan kami tidak akan menyiksa sehingga
mengutus rasul lebih dulu.
Dalam hadist
yang diriwayatkan oleh abu Dawud dan Nasai dijelaskan subyek hukum yang tidak
wajib menjalankan kewajiban dan larangan
syari’ (Allah) jika dalam keadaan tertentu.
رُفِعَ
الْقَلَمُ عَنْ ثَلَثَةٍ, عَنْ النّاَئِمِ حَتَى يَسْتَيقِظُ وَعَنِ الصَّبِيِّ
حَتَى يَحْتَلِمَ, وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَى يَعْقِلَ
Artinya : Diangkatlah pena itu (tidak terkena tuntutan
hukum) atas tiga orang, orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai
berusia baligh (dewasa) dan orang gila sampai ia berakal.
C.
Pembagian
subyek hukum dari segi hak dan kewajibannya.
Sebagaimana
telah diketahui di atas, bahwa subyek hukum (mukalaf) harus mengenal
hukum dari nash atau mengenal hukum dari orang lain, ia juga harus memiliki
keahlian (kelayakan, kepantasan dan kecakapan) mejalankan perintah atau meninggalkan
larangan yang dilarang dalam hukum syari’at. Menurut ulama ushul Fiqih
sebagaimana dikatakana oleh Abdul Wahab Kholaf dalam bukunya, bahwa keahlian
itu terbagi menjadi dua yakni keahlian wajib dan keahlian melaksnakan.[5]
Lebih lanjut
beliau memaparkan, keahlian wajib
adalah kelayakan seseorang untuk mendapatkan hak dan kewajiban.[6]
Keahlian wajib ini berlaku bagi setiap manusia dengan keadaan bahwa ia adalah
manusia baik laki-laki maupun perempuan, berupa janin, anak-anak, mumayiz,
baligh, pandai atau bodoh, berakal atau gila sehat maupun sakit.[7]
Keahlian wajib
pada mukalaf ini dibagi menjadi dua bagian menurut kelayakan menerima hak dan tidak
layak menerima haknya atau melaksanakan kewajibannya dan tidak melaksanakan
kewajibannya.
1. Keahlian
wajib yang tidak sempurna, jika mukalaf itu layak mendapat haknya tapi tidak
harus menunaikan kewajibanya atau sebaliknya.[8]
Contoh seorang mukalaf
yang mendapat haknya tanpa wajib melaksanakan
kewajiban kepada orang lain adalah seorang bayi yang ada dalam kandungan, ia mendapatkan
warisan tapi ia tidak wajib melaksanakan kewajiban terhadap orang lain.
Contoh seorang mukalaf
yang wajib melakukan kewajibannya tanpa mendapatkan haknya adalah seorang yang
meninggal yang memiliki hutang, ia tetap harus membayar hutangnya melalui ahli
warisnya.
2. Keahlian
wajib yang sempurna, jika mukalaf layak mendapat hak dan melaksanakan
kewajiban.
Contohnya adalah orang
yang telah lahir hingga tuanya, orang semacam ini ia dapat menerima haknya dan
wajib melakukan kewajiban. Anak kecil berhak menerima waris, dan wajib
melakukan hukum
Sedang
keahlihan melaksnakan adalah kelayakan sesorang mukalaf agar
ucapan dan perbuatannya diperhitungkan menurut syara’. Artinya, jika ucapan
atau perbuatan itu menimbulkan akad atau penglolaan, maka diperhitungkan menurut syara’ dan akan berakibat hukum. Jika
ia melaksanakan shalat, puasa, haji atau melaksanakan suatu kewajiban, maka
yang dilakukan itu diperhitungkan oleh syara’dan gugurlah kewajiban itu
baginya. Jika ia melakukan kriminal atas
jiwa, harta atau harga diri orang lain, maka ia berdosa akibat tindakannya dan
diberi hukuman pada fisik atau hartanya. Keahlian inilah yang dimintai
pertanggungjawaban.[9]
1. Keahlian
melaksanakan kurang, yaitu kepantasan seseorang untuk memenuhi sebagian
kewajiban dan tidak pantas untuk memenuhi kewajiban lainya. Ahli yang termasuk
golongan ini adalah anak yang berusia tujuh tahun sampai usia baligh. Anak
seperti ini disebut mumayyiz.[10] Anak
diusia ini jika melakukan ibadah, maka sah ibadahnya, walau belum terkena
kewajiban.
2. Ahli
melaksanakan sempurna, yakni orang yang telah mencapai usia baligh.[11]
Usia ahli ini jika melakukan ibadah hukumnya telah wajib dan berdosa jika
meninggalkan kewajiban.
D.
Hilangnya
status subyek hukum.
Subyek hukum atau pelaku hukum dalam hukum Islam dapat kehilangan keahliannya
dalam waktu tertentu dan keadaan tertentu. Keahlian tersebut bisa hilang karena
kodrat tuhan (dari kehendak tuhan) dan bisa juga hilang karena ada usaha
manusia itu sendiri untuk menghilangkan posisinya sebagai subyek hukum.
Keahlian yang hilang karena kodrat tuhan adalah gila, ketiduran, dipaksa
untuk melakukan sesuatu yang melanggar syari’at atau meninggalkan suatu
perintah dan lain sebagainya. Orang yang gila ia tidak wajib untuk menjalankan
beberapa ibadah contohnya sholat, haji dan beberapa macam transaksi jual beli
atau perjanjian. ia tetap mendapatkan haknya karena ia termasuk ahli wajib yang
wajib menerima hak-haknya, sehingga ia wajib mendapat perlindungan hukum, ia
mendapat warisan dan mendapat pengusaan selama hidupnya baik oleh keluarga atau
pun badan hukum.
Sedangkan keahlian yang hilang karena usaha manusia itu sendiri adalah
mabuk, banyak hutang yang tidak bisa membayarnya dan lain sebagainya. Orang
yang menyengaja mabuk tanpa ada kealfaan atau paksaan dari pihak lain, maka ia
masih mendapat kewajiban melakukan ibadah
yang diwajibkan padanya, akan tetapi ia tidak punya keahlian dalam
melakukan transaksi, perjanjian atau menjatuhkan tholak. Sedang orang banyak
hutang, ia juga tetap wajib menjalankan kewajiban ibadahnya akan tetapi tidak
dapat mentasyarufkan hartanya.
Hal ini berdasar hadist Nabi tentang tindakan beliau terhadap Mu’adz yang
kemalangan karena terlilit hutang.
اَنَّ
النَّبِى صَلَى اللَّهُ عَلَى وَسَلَمَ حَجَرَ عَلَى مُعَاذٍ وَبَاعَ مَالُهُ فِى
دَيْنٍ كَانَ عَلَيْهِ وَقَسَمَهُ بَيْنَ غُرَمَائْهِ فَاَصَابَهُمْ خَمْسَةُ
آَسْبَاعِ حُقُوْقِهِمْ, فَقَالَ لَهُمْ النَّبِي صَلَى اللَّهُ عَلَى وَسَلَمَ
لَيْسَ لَكُمْ اِلاَّ ذَلِكَ (رَوَاهُ الدَّارُقُطْنِى)
Artinya: sesungguhnya Nabi SAW menghijr (menahan)
Mu’adz, dan menjual harta bendanya karena hutang yang dimilikinya, dan Nabi
membagi (hasil penjualan hartanya) kepada beberapa orang yang memberi hutang
kepada Muadz, kemudian mereka menerima lima asba’ masing-masing, kemudian nabi
mengatakan pada mereka “tidak ada bagian kecuali itu”.
Hukum islam secara jelas mengatur tentang orang-orang yang terhalang
untuk mentasyarufkan hartanya secara bebas, baik transaksi jual beli atau
perjanjian lain. Hal ini dibahas dalam bab hijr dalam Fiqih klasik. Adapun hijr
menurut etimologi artinya mencegah sedang hijer menurut terminologi
artinya tercegahnya seseorang untuk menggunakan hartanya.[12]
Adapun tujuan dari hijer bagi orang yang terhijr
dalam hukum islam klasik sebagaimana Sayid
Musthofa Adzahabi jelaskan dalam kitabnya
Fathul Wahab ada dua macam. Pertama, alasan memberi
kemaslahatan pada orang lain, hijr dapat menjaga kemaslahatan bagi orang yang
bangkrut kepada orang yang memberi hutang, orang menyewa kepada orang pemberi
sewa dalam barang yang disewakan, orang yang sakit kepada ahli warisnya dalam
menjaga 1/3 harta, budak kepada pemiliknya dan orang murtad kepada orang
muslim. Kedua kemaslahatan bagi orang terhijer.[13]
E.
Kesimpulan.
Subyek
hukum adalah orang yang berakal dan dewasa yang dianggap mampu
oleh hukum untuk bertindak sebagai pelaku hukum dan mengerti tentang kewajiban
dan larangan yang dibebankan padanya. Ada
perbedaan subyek hukum menurut hukum fiqih dan hukum nasional, dalam hukum
fiqih klasik hanya manusia sebagai subyek hukum, sedang subyek hukum dalam hukum
nasional ada selain manusia badan hukum pun dapat menjadi subyek hukum. Tidak
ada perbedaan yang mencolok pada hakikatnya tentang subyek hukum menurut hukum Fiqih
klasik dan hukum nasional, karena badan hukum yang di anggap menjadi subyek
hukum juga dikendalikan oleh manusia jadi dapat disimpulkan mengkuratel badan
hukum hakikatnya adalah mengkuratel orangnya agar tidak dapat mengoperasikan
badan hukum.
Subyek
hukum adalah lahir setelah adanya hukum, manusia sebagai subyek hukum dan Allah
sebagai pemberi hukum. Keberadaan subyek hukum adalah tentang keberhakannya
untuk menerima hak dan kewajibannya menjalankan sesuatu yang dibebankan
padanya. Orang yang berhak mendapatkan haknya dan menjalankan kewajibannya
disebut ahli.
Ahli
terbagi menjadi dua jika dipandang dari hak dan kewajibannya, yakni ahli wajib
dan ahli ada. Ahli wujub adalah seorang
yang berhak menerima hak-haknya, sedang ahli ada adalah mereka orang-orang yang
wajib melakukan kewajibannya. Ahli wujub dan ahli ada’ dapat kehilangan keahliannya
dalam kondisi dan waktu tertentu, hal itu dikarenakan kodrat tuhan dan usahanya
sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Rifa’i
, Mohammad. Ushul Fiqih. Al Ma’arif. Bandung.
Syafii
, H.Rachmad, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung.
Kholaf,
Abdul Wahab (Faiz El Mutaqin. S.Ag) Terjemah Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Amani
Jakarta.
Syafii,
H.Rachmad , Fiqih Muamalah, pustaka setia, bandung, cet X.
Adzahabi,
Sayid Musthofa. Fathul Wahab. Darul Kutub Islami. Jus I
[1]
Drs. Mohammad Rifa’i. Ushul Fiqih. Al Ma’arif. Bandung. Cet. 10 ,Hal 16
[2]
Prof. Dr.H.Rachmad Syafii, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung. Cet IV
Hal. 334
[3]
Abdul Wahab Kholaf (Faiz El Mutaqin. S.Ag) Terjemah Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka
Amani Jakarta. Hal 187
[4]
Ibid. Hal 191
[5]
Abdul Wahab Kholaf (Faiz El Mutaqin. S.Ag) Terjemah Ilmu Ushul Fiqih…. Hal 191
[6]
Ibid……
[7]
Ibid……
[8]
Ibid hal 192
[9]
Ibid hal 191
[10] Prof. Dr.H.Rachmad Syafii.MA, Fiqih Muamalah,
pustaka setia, bandung, cet X, 2001. Hal.56
[11]
Ibid……
[12]
Sayid Musthofa Adzahabi. Fathul Wahab. Darul Kutub Islami. Jus I.Hal 205
[13]
Ibid.….
Di RIKA ANDERSON LOAN COMPANY, kami menawarkan semua jenis bantuan keuangan kepada semua individu, suku bunga kami adalah 2% per tahun. Kami juga memberikan saran dan bantuan keuangan kepada kami, klien dan pelamar. Jika Anda memiliki proyek yang baik atau ingin memulai bisnis dan membutuhkan pinjaman untuk segera membiayainya, kami dapat mendiskusikannya, menandatangani kontrak, dan kemudian mendanai proyek atau bisnis Anda untuk Anda bersama dengan Bank Dunia dan Bank Industri.
BalasHapusKategori Bisnis
Bisnis Merchandising.
Bisnis manufaktur
Bisnis Hibrid.
Kepemilikan tunggal
Kemitraan.
Perusahaan.
Perseroan terbatas.
pinjaman pribadi.
pinjaman investasi.
Pinjaman Pinjaman.
Kredit kepemilikan rumah.
KONTAK PERUSAHAAN PINJAMAN:
Situs web: rikaandersonloancompany.webs.com
Email: rikaandersonloancompany@gmail.com
Panggilan Pelanggan: +1 (323) 689-3663
Obrolan Whatsapp: + 1-323-689-3663
Facebook: Rika Anderson Alfreda
Instagram: Rikaanderson menunggangi perusahaan
Twitter: @LoanRika
Kantor Pusat: 228 Park Ave S, New York, NY 10003-1502, AS
Pajak / CAC /: 1095/0730/2028
Mahkamah Agung Kabupaten New York, NY9016 34001