KONSEP DISTRIBUSI DALAM EKONOMI ISLAM



A.      Pendahuluan.
Ekonomi merupakan salah satu indikator yang harus diperhitungkan dalam menilai sebuah Negara dalam hal maju dan tidaknya. Semakin maju perekonomian sebuah Negara, maka semakin maju pula Negara tersebut. Diakui kemajuan ekonomi memiliki pengaruh positif terhadap persolan pelanggaran hukum di sebuah Negara. Artinya semakin maju perekonomian sebuah Negara, maka warga sebuah negara semakin sedikit yang melanggar hukum, sebaliknya, tidak majunya perekonomian sebuah Negara, maka semakin banyak warganya yang melanggar hukum. Teori hubungan ini tentu tidak hanya menjadikan majunya pembangunan sebagai satu-satunya indikator kemajuan ekonomi sebuah Negara, lebih dari itu kemapanan dan kepuasan warga Negara dalam perekonomiannya adalah yang lebih utama menjadi sebuah indkator yang harus dilihat sebagai sebuah kemajuan ekonomi. Timbulnya kemapanan dan kepuasan warga Negara dalam perekonomian tidaklah dapat dicapai apabila masih adanya mental pengangguran, kurang inovatif dan terlebih ketidak adilnya distribusi dalam ekonomi, sehingga memicu kecemburuan social, dan biasa mencitakan kondisi yang kaya semakin kaya, yang miskin tambah semiskin.
Instrumen dan etika distribusi pada ekonomi yang berlaku di Indonesia dewasa ini saya kira masih memicu kesenjangan sosial yang sangat jauh berbada. Kesenjangan tersebut dapat kita lihat bukan hanya pada tatanan sosial masyarakat perkotaan saja, kita juga bisa lihat pada potret masyarakat pedesaan. Mereka yang memiliki modal akan lebih terlihat lebih mewah dari masyarakat yang tidak memiliki modal, kita bisa melihatnya melaui perbedaan bangunan rumah, kendaraan dan gaya hidupnya. Hemat saya hal ini karena kurang baiknya regulasi ekonomi dan juga distribusinya. Oleh karena itu menarik bagi kita untuk melirik sebentar konsep distribusi ekonomi Islam sebagai kajian perbandingan terhadap distribusi ekonomi yang lain.  

B.       Definis Distribusi.
Dalam ilmu ekonomi distribusi merupakan kelanjutan dari pada produksi, dimana memproduksi sesuatu berarti sesorang tersebut juga akan mendistribusikannya. Pendistribusian bisa secara pribadi dengan menggunakan barang yang diproduksi untuk kebutuhan sendiri dan ada pula distribusi dengan memindah tangankan pada orang laian guna memenuhi kebutuhan orang lain. Lebih lanjutnya Abdul Aziz mengutip definisi yang dikemukan oleh David A. Revzan, Bahwa saluran distribusi merupakan suatu saluran jalur yang dilalui oleh arus barang-barang dari produsen keperantara dan akhirnya sampai kepada pemakai. Lebih lanjut Abdul Aziz mengutip definisi distribusi dalam the American Marketing Association, bahawa saluran distribusi merupakan suatu stuktur unit organisasi dalam perusahaan yang terdiri dari agen, dealer pedagang besar dan pengecer melalui sebuah komoditi, produk atau jasa dipasarkan.[1]
Hal yang tidak jauh berbeda, bahwa definisi distribusi dalam Wikipedia adalah salah satu aspek dari pemasaran. Distribusi juga dapat dikatakan sebagai kegiatan pemasaran yang bersusaha memperlancar dan mempermudah penyampaian barang dan jasa dari produsen kepada konsumen sehingga penggunaannya sesuai dengan yang diperlukan (jenis, jumlah, harga, tempat dan saat dibutuhkan).[2]
Dari beberapa definisi di atas, maka jelas bahwa distribusi merupakan upaya yang dilakukan untuk menyalurkan barang yang diproduksi oleh produsen sehingga sampai kepada konsumen yang membutuhkan. Dengan demikian adanya distribus merupakan kelanjutan dari upaya produksi oleh produsen. Dari definisi ini, secara sepintas seperti ada kemiripan antara distribusi dan penawaran, di mana kesamaannya adalah bentuk pemasaranya. Sedang perbedaannya adalah penawaran lebih dahulu dilakukan dibanding distribusi. Sehingga sepertinya dalam hukum Islam pun dalil distribusi bisa digunakan sebagai dalil penawaran.
Sejauh penelusuran penulis, dalam hukum fikih klasik distribusi dikenal dengan istilah At Tasyaruf  yang menurut arti bahasanya adalah penggunaan atau penyaluran. At Tasyaruf dalam ilmu fikih identik dengan penggunaan harta yang dimiliki seseorang dengan cara-cara tertentu, cara tertentu tersebut yakni dengan cara zakat, shodaqoh, hibah, wasiat atau waris. Namun hal yang sah-sah saja jika istilah At Tasyaruf  digunakan sebagai pendistribusian barang produksi, toh juga produksi diyakini telah ada sejak manusia itu ada. Watak manusia membuat sesuatu atau mencari sesuatu dari alam kemudian dikonsumsi sendiri atau diperdagangkan, dan setidaknya pendistribusianya juga telah ada sejak manusia itu ada, tidak terkecuali pada zaman awal Islam.
Sehingga dalam mendasarkan pembahasan distribusi ekonomi Islam  pada Nash layaklah kiranya ketika menampilkan beberapa ayat qur’an dan hadist di bawah ini:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تطَهِرُهُمْ وَتُزَكِهِمْ بِهَا... الاية
Artinya: Ambilah Zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan……. (QS. at Taubah .103)
Setelah diambil zakat mereka lalu kemudian diberikan (di-Tasyaruf-kan) kepada para mustahiquzakat yang berhak:
اِنّمَا الصَّدَقَاتُ لِفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْن وَالعَامِليْنَ عَلَيْهَا والْمُؤَلَفَةِ قُلُبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِميْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللَّهِ وَابْنِ السَبِيْلِ .....الاية
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan……. (Q.S. At Taubah.60).
لَنْ تَنَلُوْا الْبِرَّ حَتَى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُوْنَ....الاية
Artinya: Kamu tidak akan memperoleh kebaikan, sebelum kamu menafakahkan sebagian harta yang kamu cintai………… (Q.S  Ali Imran. 92)
لاَبَيْعَ بعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ
Artinya: Janganlah sebagian dari kamu menjual sesuatu yang masih dalam proses penjualan sebagian kamu yang lain.
 Begitu juga dilarang mendistribusikan suatu barang kepada orang lain dengan harga tinggi agar pembeli yang lain mau membeli dengan harga tinggi, dan larangan terhadap menjadi calo dari masyarakat desa yang membutuhkan barang dari kota dengan tujuan harga bisa dinaikan dari harga beli di kota.
لَايَبَتَاعُ الْمَرْءِ عَلَى بَيْعِ اَخِيْهِ, وَلَاتَنَجَشُوْا, وَلَابَيْعَ حَاضِرَ لِبَادِ
Artinya: Janganlah seorang menjual di atas menjual saudaranya, jangan melakukan najasy (jual beli dengan menaikan harga pada pembeli satu agar pembeli yang lainnya mau membayar mahal), dan janganlah lakukan jual beli Khadirul Libad (jual beli dengan menjadi calo dari orang dari plosok desa).
Dari ayat quran dan juga hadist di atas kita dapat simpulkan bahwa pendistribusian harta memiliki dua beberapa cara, pendistribusian tersebut dapat menggunakan cara tanpa imbalan dari orang yang menerima pendistribusian (zakat, hibah, shodaqoh, dan waris), dan ada pula pedistribusian dengan mendapat ganti secara langsung yakni pendistribusian dengan cara transaksi jual beli. Dalam bahasa lain Abdul Aziz mengatakan:[3] Selain bentuk distribusi dengan cara pertukaran (exchenge), ada juga model distribusi yang bukan berkaitan dengan masalah hasil produksi, melainkan distribusi pendapatan (distribution of income) yang lebih berorientasi kepada distribusi kekayaan karena anjuran kewajiban agama, seperti : zakat, infaq, dan shodaqoh, serta bentuk-bentuk distribusi lainnya seperti: wakaf, hibah dan hadiah.

C.      Fungsi dan Konsep Distribusi Menurut Ekonomi Islam
Adanya hukum yang mengatur tentang ekonomi dan adanya instrumen sistem berekonomi dalam hukum Islam tidak lain agar tercapainya kemaslahatan umat dalam kehidupan dunianya yang juga menjadi bekal hidup di akhiratnya. Selain kemaslahatan tujuan instrumen ekonomi dalam Islam juga untuk mewujudkan keadilan. Keadilan ekonomi tidak dapat dicapai tanpa adanya keadilan distribusi atau penyaluran.
Keadilan distribusi adalah prinsip utama dalam ekonomi Islam, sistem ekonomi Islam menghendaki bahwa dalam pendistribusian harus didasarkan pada dua sendi, yaitu kebebasan dan keadilan. Kebebasan di sini adalah kebebasan yang dibingkai oleh nilai-nilai tauhid dan keadilan, tidak seperti pemahaman kaum kapitalis, yang mengatakan sebagai tindakan memebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak tanpa ada campur tangan pihak manapun, tetapi sebagai keseimbangan antar individu dengan unsur materi dan spritual yang dimilikinya, keseimbangan antara individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Sedangkan keadilan dalam pendistribusian tercermin dari larangan dalam Qur’an (QS. Al Hasyr [59];7), agar supaya harta kakayaan tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. Tetapi diharapkan memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat sebagai sesuatu keseluhuhan, Oleh karena itu dalam sistem ekonomi Islam, penumpukan kekayaan oleh sekelompok orang harus dihindarkan dan langkah-langkah dilakukan secara otomatis untuk memindahkan aliran kekayaan kepada masyarakat yang lemah.
Hukum dan instrumen tersebut yang pada gilarannya menjadi konsep yang sangat prinsipil dalam berekonomi menurut hukum Islam. Ruslan Adul Ghafur Noor[4] dalam bukunya memaparkan, Bahwa konsep distribusi dalam sistem ekonomi Islam yaitu meliputi dua hal :
1.        Prisnsip distribusi dalam sistem ekonomi Islam, yang meliputi:
a.       Larangan riba dan gharar. Di mana Ruslan menganggap bahwa pelarangan riba dan gharar adalah sesutu yang penting dalam ekonomi Islam, karena prinsip dari ekonomi pada dasarnya saling menguntungkan, namun dalam hal riba dan gharar hanya satu pihak saja yang diuntungkan sementara pihak lain terdzolimi.
b.      Keadilan dalam distribusi. Di mana menurutnya, maksud dalil adalah suatu kondisi yang tidak memihak pada salah satu pihak atau golongan tertentu dalam ekonomi. Keadilan distribusi biasa juga diartikan sebagai suatu distribusi pendapataan dan kekayaan secara adil sesuai dengan norma-norma fairness yang diterima secara universal.
c.       Konsep kepemilikan dalam ekonomi Islam. Di mana Islam mengakui adanya hak milik terhadap benda dan menganggap sebuah kepemilikan yang diperoleh dengan cara yang halal, dan dengan kepemilikan tersebut manusia memperjuangkan kesejahteraannya di muka bumi.
2.        Kebijakan distribusi dalam ekonomi Islam. Kebijakan-kebijakan ekonomi haruslah kepada kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kemaslahatan dan menciptakan keadilan dalam ekonomi umat. Dan terlebih, konsep keadilan bertujuan agar harta tidak terkumpul pada satu kelompok.
Melihat pemaparan ini, baik prinsip distribusi ataupun kebijakan distribusi keduanya bertitik pada instrumen yang mengatur bagaimana agar pendistribusian barang dapat memiliki nilai-nilai kemaslahatan yang menyeluruh dan keadilan yang merata, sehingga pembangunan dan kesejahteraan bukan dapat dimilki oleh beberapa orang saja, melainkan pembangunan juga dapat dinikmati dan dilakukan oleh semua orang pelaku ekonomi, sehingga fungsi produksi benar-benar terwujud bukan hanya sekedar teori ataupun harapan saja.
Untuk mencapai pembangunan pemerataan dan kesejahteraan yang seimbang, Islam memberikan nilai-nilai pembangunan tersebut berdasarkan pada keyakinan bahwa umat Islam merupakan umat terbaik khairul ummat. Motivasi ini dimaksudkan agar mereka mencoba menggunakan instrumen-instrumen ekonominya dengan cara yang baik dan benar. Salah satu instrumen tersebut adalah peran Negara dalam mengambil dan memutuskan kebijakan yang efektif dan tepat dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, sebagaimana tujuan orang banyak.[5]
Menurut Ibnu Taymiyah sebagaimana dikutip oleh Adiwarman Karim,[6] bahawa ada beberapa kondisi yang mengharuskan pemerintah melakukan intervensi harga, Yaitu: Pertama, produsen tidak mahu menjual barangnya kecuali pada harga yang lebih tinggi dari pada harga umum pasar, padahal konsumen membutuhkan barang tersebut. Dalam keadaan ini, pemerintah dapat memaksa produsen untuk menjual barangnya dan menentukan harga (intervensi harga) yang adil. Kedua, Produsen menawarkan barang pada harga yang terlalu tinggi menurut konsumen, Sedang konsumen meminta harga yang terlalu rendah menurut produsen. Dalam keadaan ini pemerintah harus melaukan intervensi harga dengan mendorong konsumen dan produsen melakukan musyawarah untuk menentukan harga yang didahului dengan tindakan invenstigasi atas demand, supplay, biaya produksi dan lainnya. Selanjutnya pemerintah menetapkan harga tersebut sebagai harga yang berlaku. Ketiga, Pemilik jasa, misalnya tenaga kerja, menolak bekerja kecuali pada harga yang lebih tinggi dari pada harga pasar yang berlaku (the prevailing market price), padahal masyarakat membutuhkan jasa tersebut, maka pemerintah dapat menetapkan harga yang wajar tersebut (reasonable price) dan memaksa pemilik jasa untuk memberikan jasanya.
Pemerintah adalah pemegang amanah Allah untuk menjalankan tugas-tugas kolektif dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan (al adl wal ihsan) serta tata kehidupan yang baik (hayyah thayibah) bagi seluruh umat. Jadi, pemerintah adalah agen dari tuhan, atau khalifatullah, untuk merealisasikan Falah. Sebagai pemegang amanah tuhan, eksetensi dan peran pemerintah ini memiliki landasan yang kokoh dalam Alquran dan Sunnah, baik secara eksplisit maupun implisit. Kehidupan Rasullullah dan Khulafaurrasidin merupakan teladan yang amat baik bagi eksistensi pemerintah. Dasar dalam menjalankan amanah tersebut pemerintah akan menjujung tinggi prinsip musyawarah (syurah) sebagai salah satu mekanisme pengambilan keputusan yang penting dalam Islam. dengan demikian, pemerintah pada dasarnya sekaligus memegang amanah dari masyarakat.[7]
Peran pemerintah dalam mengontrol ekonomi Menurut Misanam dkk yang juga dikutip oleh Anita Rahmawaty mengatakan, bahawa Pemerintah berperan dalam mekanisme ekonomi yang secara garis besar dapat diklarifikasi menjadi tiga bagian. Pertama, peran yang berkaitan dengan implementasi nilai dan moral Islam. Kedua, peran yang berkaitan dengan teknis oprasional mekanisme pasar. Ketiga, peran yang berkaitan dengan kegegalan pasar. Ketiga konsep ini mengacu pada konsep Al Hisbah pada masa Rasulullah sebagai lembaga khusus yang mengontrol pasar dari praktik yang menyimpang. Dengan ketiga peran ini diharapkan akan mampu mengatasi berbagai persoalan ekonomi karena posisi pemerintah tidak hanya sebagai perangkat ekonomi, tapi juga memiliki fungsi religious dan sosial.[8]

D.      Konsep Keadilan Distribusi Menurut Ekonomi Islam.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa instrumen ekonomi yang diatur dalam ekonomi Islam bertujuan untuk memberi keadilan umat secara umum dan kemaslahatan. Jika dibanding dengan sistem ekonomi kapitalis atau sosialis ekonomi Islam lebih mudah mewujudkan tujuan ekonomi bagi masyarakat ekonom-nya. Terlebih dalam Islam dikenal konsep hakikat kepemilikan “pada dasarnya merupakan milik Allah, manusia sebagai pemegang amanah dalam penggunaanya”. Manusia sebagai pemegang amanah, maka ia memiliki kewajiban untuk menjaga amanah dan menggunakan sesutu yang diamanahkan kepada perintah dan kemaslahatan menurut hukum Islam.
لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَى
Artinya: Kepunyaan-nya-lah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi, dan semua yang ada di anatara keduanya. (QS. Thohah. 6)
Dalam banyak ayat Qur’an, Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Dalam Islam adil didefinisikan sebagai “tidak mendzolimi dan tidak didzolimi” implikasi ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi tidak diperbolehkan untuk mengejar kepentingan pribadi bila hal itu merugikan orang lain atau merusak alam. Tanpa keadilan, manusia akan berkelompok-kelompok dalam berbagai golongan. Golongan satu akan mendzolimi golongan yang lain, sehingga terjadi eksploitasi manusia atas manusia. Masing-masing berusaha mendapatkan hasil yang lebih besar dari pada usaha yang dikeluarkannya karena kekuasannya.[9]
Dalam ekonomi kapitalis bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan cara menaikan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income) adalah teori yang tidak dapat dibenarkan, dan bahkan kemiskinan menjadi salah satu produk dari sistem ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola distribusi kekayaan secara tidak adil. Fakta empiris menunjukan bahwa bukan karena tidak ada makanan yang membuat rakyat menderita kelaparan, melainkan buruknya distribusi makanan. Ketidak adilan tersebut juga tergambar dalam pemanfaatan kemajuan teknik yang dicapai oleh ilmu pengetahuan hanya bisa dinikmati oleh masyarakat yang relatif kaya yang pendepatannya melebihi batas pendapatan untuk hidup sehari-hari, sedangkan mereka yang hidup sekedar cukup untuk makan sehari-hari, terpaksa harus menderita kemiskinan abadi.[10]
Dengan demikian, ekonomi  hanya difokuskan pada penyedian alat untuk memuaskan kebutuhan masyarakat secara makro dengan cara menaikan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional  (nasional income), sebab dengan banyaknya pendapatan nasional, maka seketika itu terjadilah pendistribusian pendapatan dengan cara memberikan kebebasan  memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua individu masyarakat, sehingga setiap individu dibiarkan bebas memperoleh kekayaan sejumlah yang dia mampu sesuai dengan faktor –faktor produksi yang dimilikinya. Asas distribusi yang diharapkan oleh sistem ekonomi pasar (kapitalsi) ini pada akhiranya berdampak pada realita bahwa yang menjadi penguasa sebenarnya adalah para kapitalis (pemilik modal dan konglomerat). Oleh karena itu, hal yang wajar, jika kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu berpihak kepada para pemilik modal atau konglomerat dan selalu mengorbankan kepentingan rakyat, sehingga terjadilah ketimpangan (ketidak adilan) pendistribusian pendapatan dan kekayaan.[11]

E.       Penutup.
Distribusi merupakan upaya yang dilakukan untuk menyalurkan barang yang diproduksi oleh produsen sehingga sampai pada konsumen yang membutuhkan. Adanya distribusi merupakan kelanjutan dari upaya produksi oleh produsen.
Dalam hal distribusi, Islam mememiliki konsep kemaslahatan dan keadilan yang berbeda dengan sistem kapitalis yang hanya mendahulukan orang-orang kaya dalam pendistribusian. Dalam ekonomi kapitalis orang kaya dianggap orang yang mampu membayar harga barang yang didistribusikan, sementara orang yang tidak punya ditinggalkan karena tidak mampu membayar mahal. Jelas dalam hal ini tidak ada keadilan distribusi dan kemaslahatan bagi banyak orang.
Maka harus ada intervensi pemerintah untuk mengatur dan memberikan instrumen distribusi yang adil, sehingga tujuan ekonomi sebagai usaha dan pemenuhan kebutuhan tercapai. Dalam Islam tercapainya sebuah tujuan ekonomi dan distribusi tentunya tidak hanya berpangkal pada aturan pemerintah melainkan juga manusia ekonominya juga harus memiliki prinsip tidak mendzolimi dan tidak terdzolimi. Adanya prinsip tidak didzolimi dan mendzolimi, maka peluang untuk mencapai tujuan ekonomi akan mudah terwujud.


DAFTAR PUSTAKA
Aziz. Abdul, Ekonomi Islam Analisis Mikro Dan Makro, (Yogyakarta, Graha Ilmu, Tahun 2008), Cet I.
Noor. Ruslan Adul Ghafur, Konsep Distribusi Dalam Ekonomi Islam Dan Format Keadilan Ekonomi Di Indonesia(Yogyakarta, Pusrtaka Pelajar, Tahun 2013), Cet I.
Karim, Adiwarman A. Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. Tahun, 2012) Cet. 5.
Karim. Adiwarman .Ekonomi Mikro Islam. (Jakarta, The Internatonal Institute Of Islamic Thought Indonesia. Tahun 2002) cet I.
Pusat Pengkajian Dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Atas Kerjasama Dengan Bank Indonesia. (Jakarta, P.T. Raja Grafindo Persada, Tahun 2008).
Rahmawaty, Anita. Distribusi Dalam Ekonomi Islam, Upaya Pemerataan Kesejahteraan Melalui Keadilan Distributif, Jurnal Equilibrium, Volume 1, No 1 Juni 2013.
Rahmawaty, Anita, Membangun Sistem Distribusi Presfektif ekonomi Islam.




[1] Abdul Aziz. Ekonomi Islam Analisis Mikro Dan Makro, (Yogyakarta, Graha Ilmu, Tahun 2008), Cet I. Hal 87
[2] https://id.m.wikipedia.org/wiki/Distribusi_(bisnis)
[3] Ibid. Abdul Aziz. Ekonomi Islam Analisis Mikro Dan Makro….Hal 86
[4] Baca pemaparan  Ruslan Adul Ghafur Noor. Konsep Distribusi Dalam Ekonomi Islam Dan Format Keadilan Ekonomi Di Indonesia(Yogyayarta, Pusrtaka Pelajar, Tahun 2013), Cet I. Hal  76-88
[5] Ibid. Abdul Aziz. Ekonomi Islam Analisis Mikro Dan Makro….Hal 88-89
[6] Adiwarman Karim. Ekonomi Mikro Islam. (Jakarta, The Internatonal Institute Of Islamic Thought Indonesia. Tahun 2002) Cet I. Hal. 144
[7] Pusat Pengkajian Dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Atas Kerjasama Dengan Bank Indonesia. (Jakarta, P.T. Raja Grafindo Persada, Tahun 2008). Hal. 446
[8] Anita Rahmawaty. Distribusi Dalam Ekonomi Islam, Upaya Pemerataan Kesejahteraan Melalui Keadilan Distributif, Jurnal Equilibrium, Volume 1, No 1 Juni 2013. Hal 11
[9] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. Tahun, 2012) Cet. 5. Hal. 35
[10] Ibid. Anita Rahmawaty. Distribusi Dalam Ekonomi Islam, Upaya Pemerataan Kesejahteraan Melaui Keadilan Distributif, Juranal Equilibrium………….Hal. 7
[11] Anita Rahmawaty. Membangun Sistem Distribusi Presfektif ekonomi Islam. hal. 6

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI HUKUM ISLAM

SEBAIK-BAIK TEMAN ADALA HUKAMA DAN ULAMA

METODOLOGI DAN PENDEKATAN STUDY ISLAM ERA KLASIK DAN MODERN