KONSEP DISTRIBUSI DALAM EKONOMI ISLAM
A.
Pendahuluan.
Ekonomi
merupakan salah satu indikator yang harus diperhitungkan dalam menilai sebuah
Negara dalam hal maju dan tidaknya. Semakin maju perekonomian sebuah Negara,
maka semakin maju pula Negara tersebut. Diakui kemajuan ekonomi memiliki
pengaruh positif terhadap persolan pelanggaran hukum di sebuah Negara. Artinya
semakin maju perekonomian sebuah Negara, maka warga sebuah negara semakin
sedikit yang melanggar hukum, sebaliknya, tidak majunya perekonomian sebuah
Negara, maka semakin banyak warganya yang melanggar hukum. Teori hubungan ini
tentu tidak hanya menjadikan majunya pembangunan sebagai satu-satunya indikator
kemajuan ekonomi sebuah Negara, lebih dari itu kemapanan dan kepuasan warga
Negara dalam perekonomiannya adalah yang lebih utama menjadi sebuah indkator
yang harus dilihat sebagai sebuah kemajuan ekonomi. Timbulnya kemapanan dan
kepuasan warga Negara dalam perekonomian tidaklah dapat dicapai apabila masih
adanya mental pengangguran, kurang inovatif dan terlebih ketidak adilnya
distribusi dalam ekonomi, sehingga memicu kecemburuan social, dan biasa
mencitakan kondisi yang kaya semakin kaya, yang miskin tambah semiskin.
Instrumen
dan etika distribusi pada ekonomi yang berlaku di Indonesia dewasa ini saya kira
masih memicu kesenjangan sosial yang sangat jauh berbada. Kesenjangan tersebut
dapat kita lihat bukan hanya pada tatanan sosial masyarakat perkotaan saja,
kita juga bisa lihat pada potret masyarakat pedesaan. Mereka yang memiliki
modal akan lebih terlihat lebih mewah dari masyarakat yang tidak memiliki
modal, kita bisa melihatnya melaui perbedaan bangunan rumah, kendaraan dan gaya
hidupnya. Hemat saya hal ini karena kurang baiknya regulasi ekonomi dan juga
distribusinya. Oleh karena itu menarik bagi kita untuk melirik sebentar konsep
distribusi ekonomi Islam sebagai kajian perbandingan terhadap distribusi
ekonomi yang lain.
B.
Definis Distribusi.
Dalam
ilmu ekonomi distribusi merupakan kelanjutan dari pada produksi, dimana
memproduksi sesuatu berarti sesorang tersebut juga akan mendistribusikannya.
Pendistribusian bisa secara pribadi dengan menggunakan barang yang diproduksi
untuk kebutuhan sendiri dan ada pula distribusi dengan memindah tangankan pada
orang laian guna memenuhi kebutuhan orang lain. Lebih lanjutnya Abdul Aziz
mengutip definisi yang dikemukan oleh David A. Revzan, Bahwa saluran distribusi
merupakan suatu saluran jalur yang dilalui oleh arus barang-barang dari
produsen keperantara dan akhirnya sampai kepada pemakai. Lebih lanjut Abdul
Aziz mengutip definisi distribusi dalam the American Marketing Association,
bahawa saluran distribusi merupakan suatu stuktur unit organisasi dalam
perusahaan yang terdiri dari agen, dealer pedagang besar dan pengecer melalui
sebuah komoditi, produk atau jasa dipasarkan.[1]
Hal
yang tidak jauh berbeda, bahwa definisi distribusi dalam Wikipedia adalah salah
satu aspek dari pemasaran. Distribusi juga dapat dikatakan sebagai kegiatan
pemasaran yang bersusaha memperlancar dan mempermudah penyampaian barang dan
jasa dari produsen kepada konsumen sehingga penggunaannya sesuai dengan yang
diperlukan (jenis, jumlah, harga, tempat dan saat dibutuhkan).[2]
Dari
beberapa definisi di atas, maka jelas bahwa distribusi merupakan upaya yang
dilakukan untuk menyalurkan barang yang diproduksi oleh produsen sehingga
sampai kepada konsumen yang membutuhkan. Dengan demikian adanya distribus
merupakan kelanjutan dari upaya produksi oleh produsen. Dari definisi ini,
secara sepintas seperti ada kemiripan antara distribusi dan penawaran, di mana
kesamaannya adalah bentuk pemasaranya. Sedang perbedaannya adalah penawaran
lebih dahulu dilakukan dibanding distribusi. Sehingga sepertinya dalam hukum Islam
pun dalil distribusi bisa digunakan sebagai dalil penawaran.
Sejauh
penelusuran penulis, dalam hukum fikih klasik distribusi dikenal dengan istilah
At Tasyaruf yang menurut arti
bahasanya adalah penggunaan atau penyaluran. At Tasyaruf dalam ilmu
fikih identik dengan penggunaan harta yang dimiliki seseorang dengan cara-cara
tertentu, cara tertentu tersebut yakni dengan cara zakat, shodaqoh, hibah,
wasiat atau waris. Namun hal yang sah-sah saja jika istilah At Tasyaruf digunakan sebagai pendistribusian barang
produksi, toh juga produksi diyakini telah ada sejak manusia itu ada. Watak
manusia membuat sesuatu atau mencari sesuatu dari alam kemudian dikonsumsi
sendiri atau diperdagangkan, dan setidaknya pendistribusianya juga telah ada
sejak manusia itu ada, tidak terkecuali pada zaman awal Islam.
Sehingga
dalam mendasarkan pembahasan distribusi ekonomi Islam pada Nash layaklah kiranya ketika
menampilkan beberapa ayat qur’an dan hadist di bawah ini:
خُذْ
مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تطَهِرُهُمْ وَتُزَكِهِمْ بِهَا... الاية
Artinya: Ambilah Zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan mensucikan……. (QS. at Taubah .103)
Setelah
diambil zakat mereka lalu kemudian diberikan (di-Tasyaruf-kan) kepada
para mustahiquzakat yang berhak:
اِنّمَا
الصَّدَقَاتُ لِفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْن وَالعَامِليْنَ عَلَيْهَا
والْمُؤَلَفَةِ قُلُبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِميْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ
اللَّهِ وَابْنِ السَبِيْلِ .....الاية
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanya untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan……. (Q.S. At Taubah.60).
لَنْ
تَنَلُوْا الْبِرَّ حَتَى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُوْنَ....الاية
Artinya: Kamu tidak akan memperoleh kebaikan, sebelum kamu
menafakahkan sebagian harta yang kamu cintai………… (Q.S Ali Imran. 92)
لاَبَيْعَ بعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ
Artinya: Janganlah sebagian dari kamu menjual sesuatu yang masih
dalam proses penjualan sebagian kamu yang lain.
Begitu juga dilarang mendistribusikan suatu
barang kepada orang lain dengan harga tinggi agar pembeli yang lain mau membeli
dengan harga tinggi, dan larangan terhadap menjadi calo dari masyarakat desa
yang membutuhkan barang dari kota dengan tujuan harga bisa dinaikan dari harga
beli di kota.
لَايَبَتَاعُ الْمَرْءِ عَلَى بَيْعِ اَخِيْهِ, وَلَاتَنَجَشُوْا, وَلَابَيْعَ
حَاضِرَ لِبَادِ
Artinya: Janganlah seorang menjual di atas menjual saudaranya,
jangan melakukan najasy (jual beli dengan menaikan harga pada pembeli satu agar
pembeli yang lainnya mau membayar mahal), dan janganlah lakukan jual beli
Khadirul Libad (jual beli dengan menjadi calo dari orang dari plosok desa).
Dari
ayat quran dan juga hadist di atas kita dapat simpulkan bahwa pendistribusian
harta memiliki dua beberapa cara, pendistribusian tersebut dapat menggunakan
cara tanpa imbalan dari orang yang menerima pendistribusian (zakat, hibah,
shodaqoh, dan waris), dan ada pula pedistribusian dengan mendapat ganti secara
langsung yakni pendistribusian dengan cara transaksi jual beli. Dalam bahasa
lain Abdul Aziz mengatakan:[3] Selain
bentuk distribusi dengan cara pertukaran (exchenge), ada juga model
distribusi yang bukan berkaitan dengan masalah hasil produksi, melainkan
distribusi pendapatan (distribution of income) yang lebih berorientasi
kepada distribusi kekayaan karena anjuran kewajiban agama, seperti : zakat,
infaq, dan shodaqoh, serta bentuk-bentuk distribusi lainnya seperti: wakaf,
hibah dan hadiah.
C.
Fungsi dan Konsep Distribusi Menurut Ekonomi Islam
Adanya
hukum yang mengatur tentang ekonomi dan adanya instrumen sistem berekonomi
dalam hukum Islam tidak lain agar tercapainya kemaslahatan umat dalam kehidupan
dunianya yang juga menjadi bekal hidup di akhiratnya. Selain kemaslahatan
tujuan instrumen ekonomi dalam Islam juga untuk mewujudkan keadilan. Keadilan
ekonomi tidak dapat dicapai tanpa adanya keadilan distribusi atau penyaluran.
Keadilan
distribusi adalah prinsip utama dalam ekonomi Islam, sistem ekonomi Islam
menghendaki bahwa dalam pendistribusian harus didasarkan pada dua sendi, yaitu
kebebasan dan keadilan. Kebebasan di sini adalah kebebasan yang dibingkai oleh
nilai-nilai tauhid dan keadilan, tidak seperti pemahaman kaum kapitalis, yang
mengatakan sebagai tindakan memebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak
tanpa ada campur tangan pihak manapun, tetapi sebagai keseimbangan antar
individu dengan unsur materi dan spritual yang dimilikinya, keseimbangan antara
individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat
lainnya. Sedangkan keadilan dalam pendistribusian tercermin dari larangan dalam
Qur’an (QS. Al Hasyr [59];7), agar supaya harta kakayaan tidak hanya beredar di
antara orang-orang kaya saja. Tetapi diharapkan memberikan kontribusi kepada
kesejahteraan masyarakat sebagai sesuatu keseluhuhan, Oleh karena itu dalam sistem
ekonomi Islam, penumpukan kekayaan oleh sekelompok orang harus dihindarkan dan
langkah-langkah dilakukan secara otomatis untuk memindahkan aliran kekayaan
kepada masyarakat yang lemah.
Hukum
dan instrumen tersebut yang pada gilarannya menjadi konsep yang sangat
prinsipil dalam berekonomi menurut hukum Islam. Ruslan Adul Ghafur Noor[4]
dalam bukunya memaparkan, Bahwa konsep distribusi dalam sistem ekonomi Islam yaitu
meliputi dua hal :
1.
Prisnsip
distribusi dalam sistem ekonomi Islam, yang meliputi:
a.
Larangan
riba dan gharar. Di mana Ruslan menganggap bahwa pelarangan riba
dan gharar adalah sesutu yang penting dalam ekonomi Islam, karena
prinsip dari ekonomi pada dasarnya saling menguntungkan, namun dalam hal riba
dan gharar hanya satu pihak saja yang diuntungkan sementara pihak lain
terdzolimi.
b.
Keadilan
dalam distribusi. Di mana menurutnya, maksud dalil adalah suatu kondisi yang
tidak memihak pada salah satu pihak atau golongan tertentu dalam ekonomi.
Keadilan distribusi biasa juga diartikan sebagai suatu distribusi pendapataan
dan kekayaan secara adil sesuai dengan norma-norma fairness yang
diterima secara universal.
c.
Konsep
kepemilikan dalam ekonomi Islam. Di mana Islam mengakui adanya hak milik
terhadap benda dan menganggap sebuah kepemilikan yang diperoleh dengan cara
yang halal, dan dengan kepemilikan tersebut manusia memperjuangkan kesejahteraannya
di muka bumi.
2.
Kebijakan
distribusi dalam ekonomi Islam. Kebijakan-kebijakan ekonomi haruslah kepada
kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kemaslahatan dan menciptakan keadilan
dalam ekonomi umat. Dan terlebih, konsep keadilan bertujuan agar harta tidak
terkumpul pada satu kelompok.
Melihat
pemaparan ini, baik prinsip distribusi ataupun kebijakan distribusi keduanya
bertitik pada instrumen yang mengatur bagaimana agar pendistribusian barang
dapat memiliki nilai-nilai kemaslahatan yang menyeluruh dan keadilan yang
merata, sehingga pembangunan dan kesejahteraan bukan dapat dimilki oleh
beberapa orang saja, melainkan pembangunan juga dapat dinikmati dan dilakukan
oleh semua orang pelaku ekonomi, sehingga fungsi produksi benar-benar terwujud
bukan hanya sekedar teori ataupun harapan saja.
Untuk
mencapai pembangunan pemerataan dan kesejahteraan yang seimbang, Islam
memberikan nilai-nilai pembangunan tersebut berdasarkan pada keyakinan bahwa
umat Islam merupakan umat terbaik khairul ummat. Motivasi ini
dimaksudkan agar mereka mencoba menggunakan instrumen-instrumen ekonominya
dengan cara yang baik dan benar. Salah satu instrumen tersebut adalah peran
Negara dalam mengambil dan memutuskan kebijakan yang efektif dan tepat dalam
memenuhi hajat hidup orang banyak, sebagaimana tujuan orang banyak.[5]
Menurut
Ibnu Taymiyah sebagaimana dikutip oleh Adiwarman Karim,[6]
bahawa ada beberapa kondisi yang mengharuskan pemerintah melakukan intervensi
harga, Yaitu: Pertama, produsen tidak mahu menjual barangnya kecuali
pada harga yang lebih tinggi dari pada harga umum pasar, padahal konsumen
membutuhkan barang tersebut. Dalam keadaan ini, pemerintah dapat memaksa
produsen untuk menjual barangnya dan menentukan harga (intervensi harga) yang
adil. Kedua, Produsen menawarkan barang pada harga yang terlalu tinggi
menurut konsumen, Sedang konsumen meminta harga yang terlalu rendah menurut
produsen. Dalam keadaan ini pemerintah harus melaukan intervensi harga dengan
mendorong konsumen dan produsen melakukan musyawarah untuk menentukan harga
yang didahului dengan tindakan invenstigasi atas demand, supplay,
biaya produksi dan lainnya. Selanjutnya pemerintah menetapkan harga tersebut
sebagai harga yang berlaku. Ketiga, Pemilik jasa, misalnya tenaga kerja,
menolak bekerja kecuali pada harga yang lebih tinggi dari pada harga pasar yang
berlaku (the prevailing market price), padahal masyarakat membutuhkan
jasa tersebut, maka pemerintah dapat menetapkan harga yang wajar tersebut (reasonable
price) dan memaksa pemilik jasa untuk memberikan jasanya.
Pemerintah
adalah pemegang amanah Allah untuk menjalankan tugas-tugas kolektif dalam
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan (al adl wal ihsan) serta tata
kehidupan yang baik (hayyah thayibah) bagi seluruh umat. Jadi,
pemerintah adalah agen dari tuhan, atau khalifatullah, untuk merealisasikan
Falah. Sebagai pemegang amanah tuhan, eksetensi dan peran pemerintah ini
memiliki landasan yang kokoh dalam Alquran dan Sunnah, baik secara eksplisit
maupun implisit. Kehidupan Rasullullah dan Khulafaurrasidin merupakan teladan
yang amat baik bagi eksistensi pemerintah. Dasar dalam menjalankan amanah
tersebut pemerintah akan menjujung tinggi prinsip musyawarah (syurah)
sebagai salah satu mekanisme pengambilan keputusan yang penting dalam Islam.
dengan demikian, pemerintah pada dasarnya sekaligus memegang amanah dari
masyarakat.[7]
Peran
pemerintah dalam mengontrol ekonomi Menurut Misanam dkk yang juga dikutip oleh
Anita Rahmawaty mengatakan, bahawa Pemerintah berperan dalam mekanisme ekonomi
yang secara garis besar dapat diklarifikasi menjadi tiga bagian. Pertama,
peran yang berkaitan dengan implementasi nilai dan moral Islam. Kedua, peran
yang berkaitan dengan teknis oprasional mekanisme pasar. Ketiga, peran yang
berkaitan dengan kegegalan pasar. Ketiga konsep ini mengacu pada konsep
Al Hisbah pada masa Rasulullah sebagai lembaga khusus yang mengontrol pasar
dari praktik yang menyimpang. Dengan ketiga peran ini diharapkan akan mampu
mengatasi berbagai persoalan ekonomi karena posisi pemerintah tidak hanya sebagai
perangkat ekonomi, tapi juga memiliki fungsi religious dan sosial.[8]
D.
Konsep Keadilan Distribusi Menurut Ekonomi Islam.
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya bahwa instrumen ekonomi yang diatur dalam ekonomi Islam
bertujuan untuk memberi keadilan umat secara umum dan kemaslahatan. Jika
dibanding dengan sistem ekonomi kapitalis atau sosialis ekonomi Islam lebih
mudah mewujudkan tujuan ekonomi bagi masyarakat ekonom-nya. Terlebih dalam Islam
dikenal konsep hakikat kepemilikan “pada dasarnya merupakan milik Allah,
manusia sebagai pemegang amanah dalam penggunaanya”. Manusia sebagai pemegang
amanah, maka ia memiliki kewajiban untuk menjaga amanah dan menggunakan sesutu
yang diamanahkan kepada perintah dan kemaslahatan menurut hukum Islam.
لَهُ
مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ
الثَّرَى
Artinya: Kepunyaan-nya-lah semua yang ada di langit dan semua
yang ada di bumi, dan semua yang ada di anatara keduanya. (QS. Thohah. 6)
Dalam
banyak ayat Qur’an, Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Dalam Islam
adil didefinisikan sebagai “tidak mendzolimi dan tidak didzolimi” implikasi
ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi tidak diperbolehkan untuk
mengejar kepentingan pribadi bila hal itu merugikan orang lain atau merusak
alam. Tanpa keadilan, manusia akan berkelompok-kelompok dalam berbagai
golongan. Golongan satu akan mendzolimi golongan yang lain, sehingga terjadi
eksploitasi manusia atas manusia. Masing-masing berusaha mendapatkan hasil yang
lebih besar dari pada usaha yang dikeluarkannya karena kekuasannya.[9]
Dalam
ekonomi kapitalis bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan cara menaikan
tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income)
adalah teori yang tidak dapat dibenarkan, dan bahkan kemiskinan menjadi salah
satu produk dari sistem ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola distribusi
kekayaan secara tidak adil. Fakta empiris menunjukan bahwa bukan karena tidak
ada makanan yang membuat rakyat menderita kelaparan, melainkan buruknya
distribusi makanan. Ketidak adilan tersebut juga tergambar dalam pemanfaatan
kemajuan teknik yang dicapai oleh ilmu pengetahuan hanya bisa dinikmati oleh
masyarakat yang relatif kaya yang pendepatannya melebihi batas pendapatan untuk
hidup sehari-hari, sedangkan mereka yang hidup sekedar cukup untuk makan
sehari-hari, terpaksa harus menderita kemiskinan abadi.[10]
Dengan
demikian, ekonomi hanya difokuskan pada
penyedian alat untuk memuaskan kebutuhan masyarakat secara makro dengan cara
menaikan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (nasional income), sebab dengan banyaknya
pendapatan nasional, maka seketika itu terjadilah pendistribusian pendapatan
dengan cara memberikan kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua
individu masyarakat, sehingga setiap individu dibiarkan bebas memperoleh
kekayaan sejumlah yang dia mampu sesuai dengan faktor –faktor produksi yang
dimilikinya. Asas distribusi yang diharapkan oleh sistem ekonomi pasar
(kapitalsi) ini pada akhiranya berdampak pada realita bahwa yang menjadi
penguasa sebenarnya adalah para kapitalis (pemilik modal dan konglomerat). Oleh
karena itu, hal yang wajar, jika kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah selalu berpihak kepada para pemilik modal atau konglomerat dan
selalu mengorbankan kepentingan rakyat, sehingga terjadilah ketimpangan
(ketidak adilan) pendistribusian pendapatan dan kekayaan.[11]
E.
Penutup.
Distribusi
merupakan upaya yang dilakukan untuk menyalurkan barang yang diproduksi oleh
produsen sehingga sampai pada konsumen yang membutuhkan. Adanya distribusi
merupakan kelanjutan dari upaya produksi oleh produsen.
Dalam
hal distribusi, Islam mememiliki konsep kemaslahatan dan keadilan yang berbeda
dengan sistem kapitalis yang hanya mendahulukan orang-orang kaya dalam
pendistribusian. Dalam ekonomi kapitalis orang kaya dianggap orang yang mampu
membayar harga barang yang didistribusikan, sementara orang yang tidak punya
ditinggalkan karena tidak mampu membayar mahal. Jelas dalam hal ini tidak ada
keadilan distribusi dan kemaslahatan bagi banyak orang.
Maka
harus ada intervensi pemerintah untuk mengatur dan memberikan instrumen
distribusi yang adil, sehingga tujuan ekonomi sebagai usaha dan pemenuhan
kebutuhan tercapai. Dalam Islam tercapainya sebuah tujuan ekonomi dan
distribusi tentunya tidak hanya berpangkal pada aturan pemerintah melainkan
juga manusia ekonominya juga harus memiliki prinsip tidak mendzolimi dan tidak
terdzolimi. Adanya prinsip tidak didzolimi dan mendzolimi, maka peluang untuk
mencapai tujuan ekonomi akan mudah terwujud.
DAFTAR
PUSTAKA
Aziz. Abdul, Ekonomi Islam Analisis Mikro Dan Makro, (Yogyakarta,
Graha Ilmu, Tahun 2008), Cet I.
Noor. Ruslan Adul Ghafur, Konsep Distribusi Dalam Ekonomi Islam Dan
Format Keadilan Ekonomi Di Indonesia(Yogyakarta, Pusrtaka Pelajar, Tahun 2013),
Cet I.
Karim, Adiwarman A. Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada. Tahun, 2012) Cet. 5.
Karim. Adiwarman .Ekonomi Mikro Islam. (Jakarta, The Internatonal
Institute Of Islamic Thought Indonesia. Tahun 2002) cet I.
Pusat Pengkajian Dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta Atas Kerjasama Dengan Bank Indonesia. (Jakarta, P.T. Raja
Grafindo Persada, Tahun 2008).
Rahmawaty, Anita. Distribusi Dalam Ekonomi Islam, Upaya Pemerataan
Kesejahteraan Melalui Keadilan Distributif, Jurnal Equilibrium, Volume 1, No 1
Juni 2013.
Rahmawaty, Anita, Membangun Sistem Distribusi Presfektif ekonomi Islam.
[1] Abdul Aziz.
Ekonomi Islam Analisis Mikro Dan Makro, (Yogyakarta, Graha Ilmu, Tahun 2008),
Cet I. Hal 87
[2]
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Distribusi_(bisnis)
[4] Baca
pemaparan Ruslan Adul Ghafur Noor.
Konsep Distribusi Dalam Ekonomi Islam Dan Format Keadilan Ekonomi Di
Indonesia(Yogyayarta, Pusrtaka Pelajar, Tahun 2013), Cet I. Hal 76-88
[5] Ibid.
Abdul Aziz. Ekonomi Islam Analisis Mikro Dan Makro….Hal 88-89
[6]
Adiwarman
Karim. Ekonomi Mikro Islam. (Jakarta, The Internatonal Institute Of Islamic
Thought Indonesia. Tahun 2002) Cet I. Hal. 144
[7] Pusat
Pengkajian Dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta Atas Kerjasama Dengan Bank Indonesia. (Jakarta, P.T. Raja Grafindo
Persada, Tahun 2008). Hal. 446
[8]
Anita Rahmawaty.
Distribusi Dalam Ekonomi Islam, Upaya Pemerataan Kesejahteraan Melalui Keadilan
Distributif, Jurnal Equilibrium, Volume 1, No 1 Juni 2013. Hal 11
[9] Adiwarman A.
Karim, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. Tahun, 2012)
Cet. 5. Hal. 35
[10]
Ibid. Anita
Rahmawaty. Distribusi Dalam Ekonomi Islam, Upaya Pemerataan Kesejahteraan
Melaui Keadilan Distributif, Juranal Equilibrium………….Hal. 7
[11]
Anita Rahmawaty. Membangun Sistem Distribusi Presfektif ekonomi Islam. hal. 6
Komentar
Posting Komentar