NU POLITIK
Oleh :Agus Salim
Nahdhotul Ulama merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia yang lahir sejak 1926 lalu. Tak khayal banyak penulis atau peneliti menjadikan Nahdhotul Ulama sebagai obyek pembahasan dan Obyek penelitian mereka. Setidaknya dari kipra Nahdhotul Ulama sebagai organisasi Islam telah dibuktikan dengan jumlah warga Nahdiyin yang terserak dimana-mana, bahkan Gus Dur Punya anekdot “Nahdhotul Ulama tidak kemana-mana, Tapi ada dimana-mana”, gambaran ini menunjukan eksistensi warga Nahdiyin yang kerap menjadi vokal pada setiap pergerakan.
Sebagaimana kita telah ketahui, bahwa Nahdhotul Ulama lahir atas dasar adanya kekawatiran terjadinya penodaan terhadap doktrin Islam kuno oleh kaum Wahabi. Nahdhotul Ualam juga mempunyai peran penting dalam upaya kemerdekaan republik Indonesia, terlihat dari pembentukan Hisbullah sebagai tentara pejuang melawan penjajah, gerakan resolusi jihad sebagai pengusir penjajah di Suarabaya dan lain sebagainya. Kompleksitas ini mengindikasikan adanya pemetaan fungsi dan perjuangan Nahdhotul Ulama sebagai organisi Islam Untuk Indonesia.
Pemetaan fungsi dan perjuangan Nahdhotul Ulama untuk Indonesia tersebut meliputi peta tradisi Nahdhotul Ulama dan Politik aktif Nahdhotul Ulama. Hal itu sangat lumrah adanya, sebuah organisasi yang tumbuh besar di negara yang besar tidaklah mungkin tidak menajdi pondasi kuat terhadap berdirinya negaranya sendiri. Keterlibatan Nahdhotul Ulama dalam kemerdekaan Indonesia tidak dapat dinafikan begitu saja. Beberapa pendiri dan perintis organisasi ini telah beberapa kali di bui karena dianggap mengganggu penjajah. Dan dalam kesempatan yang lain, fatwa jihad melawan belanda telah dikeluarkan untuk santri-santri Nahdhotul Ulama dan pengikutnya.
Kiprah para putra-putri Founding Father Nahdhotul Ulama, baik dari Mbah Hasyim As’ary atau bahkan Mba Wahab Hasbullah juga terekam sejarah telah mengisi kemerdekaan ini, dan yang telah kita saksikan, seorang cucu dari Mbah Hasyim As’ary yakni Gus Dur dapat menstabilkan gejolak pluralis yang pada saat itu masih terdengar sumbang. Gus Dur menjadi presiden dan memberikan kemerdekaan kepada agama yang termaljinalkan. Bukan tidak beralasan, Gus Dur mempunyai pandangan yang lebih mengarah kepada kemanusian, dan kemerdekaan beragama di negara ini, mungkin itu sebabnya Gus Dur membela agama yang dianggapnya termarjinalkan.
Dari sisi partai politik, Nahdhotul Ulama pernah bergabung dengan MASUMI sebagai partai Islam pada saat itu, kemudian memisahkan diri dan menobatkan diri sebagai salah satu partai yang berhak mengajukan presidennya dalam pemilu sebagaimana partai politik lain. Nahdhotul Ulama menjadi paratai politik sebelum terjadinya Khitho tahun 60-an. Setelah adanya gejolak dan penolakan sebagian warga Nahdhiyin terhadap pemposisian Nahdhotul Ulama sebagai partai politik, maka kemudian Nahdhotul Ulama kembali menajdi organisasi keagamaan sebagaimana tujuan pendirian Nahdhotul Ulama pada awal berdirinya, bukan politik. Setelah pemposisian Nahdhotul Ulama kembali ke-orgnisasian keagamaan, beberapa politisi Nahdhotul Ulama masuk dalam partai politik PPP. Setidaknya dengan masuknya mereka dalam partai PPP, warga Nahdhiyin mampu mewarnai kursi parlemen dan mendapat posisi penting dalam membantu kedewasaan Indonesia sebagai negara yang mandiri.
Pada tahun 89-an Gus Dur berinisiatif untuk membawa warga Nahdhiyin ikut serta mengisi kemerdekaan kembali, sehingga pada akhirnya berdirilah partai yang lahir dari warga Nahdhiyin, yakni Partai Kebangkitan Bangsa yang juga membawa Gus Dur menjadi presiden Indonesia pada tahun 2000-an. Masa yang sangat sulit bagi Indonesia saat itu, setelah runtuhnya orde baru yang dikenal sebagai orde yang otoriter, Abdur Rahman Wahid Mampu meredam gejolak radikalisme kelompok-kelompok pribumi yang memarjinalkan warga Tionghoa. Krisis moneter yang merupakan warisan akhir dari penguasa orde baru sempat menajdi biang keladi terjadinya kekacauan di negeri ini. Pada akhirnya kemimpinan Gus Dur tidak berjalan lama, karena banyak lawan politiknya mempropokasi aktivis mahasiswa atau bahkan penggliat politik pada saat itu guna untuk melengserkan Gus Dur. Gus Dur lengser, GAM merajalelah, Timor Timur merdeka dan menjadi Timor Leste, dan gejolak ambalat bising terdengar setelah lengsernya Gus Dur.
Kekokohan partai politik Nahdhotul Ulama semakin kuat setelah terpilihnya Gus Dur pada saat itu. Beberapa kali Gus Dur diminta untuk menjadi presiden dari partai PKB yang didirikanya. Sayang Gus Dur yang pada saat itu mendapat dukungan dari para kiai, warga Nahdhiyin dan juga warga Tionghoa tidak dapat memetik hasil manis dari perjuangannya. Tercium bau ‘penghianatan’ kepada Gus Dur yang sebetulnya warga Nahdhiyin ‘takut’ mengeksposnya. Titik penghianatan tersebut dapat dilihat dengan munculnya PKB tandingan yang digawangi keponakannya sendiri. Gus Dur sendiri mengungkapkan kekeceawaan tersebut secara implisit dalam sebuah acara dengan mengatakan “saya saja dikhiyanati, apalagi kalian!”. Sebuah isyarat yang patut disadari bagi pentolan PKB tandingan.
Terlepas dari pada itu, hingga pada saat ini peran aktif warga Nahdhiyin untuk mendukung dan mengisi kemerdekaan negara republik Indonesia sebagai negara Bihineka Tunggal Ika, hal ini dapat ditengarai dari sikap warga Nahdiyin yang selalu mengutuk segala bentuk kekerasan yang mengatas namakan agama Islam. Bentuk separatisme yang mengatas namakan agama Islam merupakan penodaan terhadap agama Islam itu sendiri. Apalagi kita tahu doktrin Islam mengajarkan pada pengikutnya untuk selalu mentaati pemimpin selagi pemimpin kita tidak memerintah kepada kemaksiatan, dan doktrin Islam memerintahkan pada pengikutnya untuk mencitai negara, karena mencintai negara sebagian dari pengukuhan terhadap iman seseorang pemeluk Islam.
Tambak, 01 Februari 2016
Komentar
Posting Komentar