QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM


A.      Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri bahwa mengikuti Qur’an dalam  kehidupan umat muslim adalah sebuah kewajiban. Dalam agama Islam, Qur’an merupakan sabada tuhan yang berisikan aturan-aturan kehidupan hambanya. Berbeda dengan kitab-kitab suci lain yang dapat difahami secara praktis, Qur’an dapat difahami dan diambil petunjuknya jika ada dilalah yang jelas. Dilalah itu dianggap jelas jika mengacu pada lafal Qur’an itu sendiri dan Hadist Nabi sebagai penjelas maksud qur’an.
Dari fenomena Qur’an tidak dapat difahami sebagaimana kitab-kitab lain, munculah rumusan, bahwa dalam memahami kandungan Qur’an dalam keyakinan seseorang ada dua kayakinan terhadap kebenaranya, dua keyakinan itu diistilahkan oleh para ahli dengan Dilalah Quraniyah. Dilalah Qur’aniyah adalah petunjuk hukum yang terkandung di dalam Qur’an, dilalah yang dimaksud adalah bersifat Qoth’I dan Dhoni. Memahami konsep petunjuk qothi’ dan zhonnyi dalam istimbathil hukmi adalah proses yang sangat peting. Tanpa memahaminya, maka hukum Islam tidak akan tercapai tujuannya sebagai hal yang mengatur kehidupan manusia.
Dalam makalah ini penyusun akan membahas lebih lanjut posisi Qur’an sebagai sumber hukum Islam, dan juga akan membahas tentang dua Dilalah Qur’aniyah yang terkandung didalam Qur’an sebagai petunjuk bagi umat muslim.

B.       Pengertian Qur’an.
Jika kita melihat beberapa literature, maka kita akan temukan beberapa pendapat yang berbeda-beda dalam medifinisikan Qur’an. Dalam buku yang ditulis oleh Prof. Dr.H. Abdul Djalal. H.A, ia mengungkapkan lima definisi Qur’an yang berbeda, perbedaaan itu karena berbedanya ulama yang mendifinisikan. Namun walau dengan demikian, varian definisi  Qur’an tersebut bukanlah untuk menyalahkan atau membenarkan salah satunya. Perbedaan definisi tersebut harus disadari karena perbedaan sudut pandang dan dasar pemikiran para pembuat definisi, sehingga perbedaan itu diasumsikan sebagian dari kekayaan khazanah keilmuan.
Definisi  Qur’an  sebagaimana dikutip Oleh Prof. Dr.H. Abdul Djalal. H.A dari Al Lihyani (Wafat 355 H), Al Qur’an itu adalah lafal mashdar yang semakna dengan lafal qur’anan ikut wazan fu’lanan yang diambil dari lafal: Qur’a-yaqra’u-qur’anan dan seperti lafal syakara-syukraanan dan ghafara–gufranan dengan arti kumpul atau menjadi satu.[1]Ada juga yang mengatakan bahwa Qur’an diambil dari bentuk masdar qara’ah yang berarti berulang-ulang. Hal ini ditegaskan oleh Hamid Abu Zaid[2] seraya mengatakan “kata Qur’an (ayat 17) yang dihubungkan dengan kata jam’a(hu), menegaskan adanya perbedaan (makna). Ayat yang kedua (18) muncul untuk menegaskan bahwa Qur’an adalah bentuk masdar dari qara’a dengan arti membaca, yang berarti pengulangan dan pen-tartil-an”.
اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعُهُ وَقَرَأْنَهُ القيامة -17  فَاِذَا قَرَأْنَهُ فَاتَّبِعُ قَرَأْنَهُ   القيامة18-
Artinya: sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkan (di dalammu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya. (Al Qiyamah 17-18)
Sedangkan Qur’an menurut istilah sebagaimana diungkapkan Abdul Wahab Khalaf kurang lebih adalah firman Allah yang diturunkan oleh Allah dengan perantara Jibril ke dalam hati Rasullah Muhammad bin Abdulah dengan lafal Arab dan makna yang pasti sebagai bukti bagi rasul bahwasanya dia adalah utusan Allah, sebagai undang-undang sekaligus petunjuk bagi manusia dan sarana pendekatan (seorang hamba kepada tuhannya), sekaligus sebagai ibadah bila dibaca.[3]
Menurut istilah yang diungkapkan oleh Dr. A. Yusuf  Qosim sebagaimana dinukil oleh Abdul Djalal. H.A,[4] Bahwa Qur’an ialah Kalam al mu’jiz yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW yang tertulis dalam Mushaf, yang diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya adalah ibadah.
Sedang Qur’an menurut istilah turunnya pada Rasullulah, Muhammad Khudari Bek[5] mengungkapkan, bahwa Qur’an adalah apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW secara berangsur-angsur dimulai dari 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran beliau. Diwahyukan di gua Hira sebuah surat Al A’laq 1-5 dan wahyu terakhir turun pada 9 Zulhijah 10 H tahun 63 kelahiran nabi, surat yang diturunkan Al Maidah ayat 5.[6]
Mencermati definisi yang dipaparkan oleh beberapa Ahli, kita dapat manarik kesimpulan bahwa unsur Al Qur’an yang dapat membedakannya dari yang lain. Unsur pertama adalah Qur’an berupa wahyu, sehingga Qur’an bukan merupakan kalam Muhammad dan bukan kalam yang didasari kepetingan pribadinya. Unsure kedua adalah tentang penurunan Qur’an. Bahwa dalam definisi di atas Qur’an diturunkan tidak langsung kepada nabi Muhammad, melainkan Qur’an diturunkan menggunakan perantara Jibril, yang kemudian wahyu itu disampaikan kepada nabi Muhammad. Unsur ketiga adalah Qur’an sebuah wahyu yang diturunkan berupa lafal dan makna, sehingga ia berbeda dengan kitab-kitab suci lain dan berbeda dengan hadist qudsi atau hadist nabawi yang lafatnya dari nabi atau sesuai perawihnya. Unsur keempat adalah Qur’an sebagai mu’zijat atau sebagai alat pelemah musuh-musuh Nabi Muhammad khususnya dalam bidang kesusatraan. Unsur kelima adalah Qur’an sebagai media mendekatkan diri seorang hamba pada tuhannya yang bernilai ibadah jika ia dibaca, dan yang terakhir adalah, ia berupa mushaf yang diriwayatkan secara mutawatir sehingga keorisinalitasanya lebih terjaga.

C.      Dasar Hukum Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam.
Berdasarkan penelitian telah ditetapkan bahwa dalil syara’ yang menjadi dasar pengambilan hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia itu ada empat: al Qur’an, As Sunnah, Al ijma’dan qiyas. Dan mayoritas tokoh umat Islam telah sepakat bahwa empat hal itu dapat digunakan sebagai dalil.[7]
Kaum muslimin bersepakat hirarkhi suber hukum Islam tertinggi adalah Qur’an, dan keyakinan bahwa Qur’an adalah pesan tuhan adalah sebuah kewajiban. Hirarkhi sumber hukum Islam dapat kita fahami dari surat Anisa 59.
ياَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اَطِيْعُوْا اللَّه وَأَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِي الْاَمْرِمِنْكُم فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدوهُ اِلَى اللهِ والرسوْل
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatlah pada Allah dan taatlah pada rasullnya dan ulil amri di anatara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah pada Allah (Qur’an) dan rasul (as Sunah). (Q.S. An Nisa’ 59)
Qur’an sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, tidak ada keraguan tentang kebenarannya.

ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَقِيْنَ
Artinya: Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, (sebagai ) petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (Q.S. Al Baqorah. 2)
Seruan tentang menerima apa saja yang dari Rasulullah, baik perintah atau larangan, jika Rasul memerintah, maka lakukan, dan apa yang rasull larang, maka tinggalkan:
وَمَا أَتَاكُمْ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْه وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهَ فَانْتَهُوْا
Artinya: Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimahlah ia, dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah. (Q.S Al hasyr 7)
اِنَّ الْحُكْمُ اِلاَاللَّه يَقْصُ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الفَاصِلٍيْنَ
Artinya: Menetapkan hukum hanyalah hak Allah, Dia menerangkan sebenarnya dan Dia pemberi putusan yang paling baik. (QS. Al Aln’am57)
مَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا اَنْزَلَ اللَّه فأُوْلَئِكَ هُمُ الْضَلِمُوْنَ
Artinya :Barang siapa yang tidak menghukumi dengan sesuatu yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka termasuk orang-orang yang Zholim.
Dari ayat di atas bahawa Qur’an adalah sumber hukum utama dalam beragama Islam dan sumber hukum Islam, urutan dasar hukum selanjutnya adalah as sunnah, ijma dan terakhir adalah qiyas. Qur’an memiliki fungsi yang sangat urgent, ia bisa sebagai petunjuk, bisa juga sebagai nasihat, bisa juga sebagai penjelas dan lain sebagainya.
Selanjutnya hukum yang terkandung dalam Qur’an menurut Abdul Wahab Kholaf ada tiga macam.[8]  Pertama adalah Hukum akidah, yakni hukum yang berhubungan dengan hal-hal yang wajib diyakini oleh seorang mukalaf  tentang Allah, Malaikat, para Rasul dan hari kemudian. Kedua, hukum akhlak, yakni hukum yang berhubungan dengan kewajiban seorang mukalaf untuk melakukan hal-hal yang utama dan meninggalkan hal yang hina. Ketiga, adalah hukum perbuatan, yakni hukum yang bertalian dengan ucapan, perbuatan, akad atau penglolaan yang timbul dari seorang mukalaf.
Telah dipaparkan di atas bahwa Qur’an tidak dapat difami secara praktis sebagaimana kitab-kitab yang lain. Namun demikian bukan berarti Qur’an lantas ditinggalkan karna sulit difahami dan memilih taklid buta kapada para Mujtahid dan para mufasir. Qur’an tetap wajib dipelajari dan diexplore isinya sehingga ia mampu menjadi sumber hukum Islam kapan saja. Diakui memang Qur’an memiliki jumlah surat dan ayat yang terbatas, namun dengan pengkajian secara mendalam Qur’an pasti dapat menjawab persoalan-persoalan hukum yang berkembang.
Menurut Abdul Wahab Kholaf yang juga dikutip oleh Badri Khaeruman menyatakan bahawa ayat dalam Qur’an yang bermutan hukum dalam bidang muamalat berkisar antara 23 sampai 250 ayat dari jumlah keseluruhan ayat Qur’an  yang lebih dari 6000 ayat. Jadi, jumlah ayat hukum dalam Qur’an sekitar 3-4 % dari seluruh ayat Al –Qur’an. Bahkan menurut Rasyidi, ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung hukum lebih kurang 200 ayat, yakni 3 % dari jumlah seluruhnya. [9]
 
D.      Dalalah Qoth’iyah dan Zhaniyah.
Banyak leteratur menjelaskan bahwa turunya Qur’an hingga dikodifikasi menjadi mushaf dan pada giliranya samapai pada kita saat ini merupakan Qur’an yang benar-benar dari Allah, ia tidak mengalami perubahan lafal atau pun makna yang dikandungnya. Dalam hal ini makalah yang ada ditangan pembaca tidak akan membahas panjang lebar tentang keorisinilan Qur’an yang samapai pada kita saat ini. Pembahasan ini hanya akan membahas tentang kandungan hukum yang dikandung oleh Qur’an yang terjamin keorisinilanya karena periwayatan Qur’an dianggap mutawtir oleh para ulama. Dan sebagaimana kita tahu Allah menjaga Qur’an dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab, dengan tidak merubah lafal dan makna yang dikandungnya. Allah berfirman dalam surat Al Hijr ayat 9.
اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الّذِكْرَ وَاِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ
Artinya: Sesungguhnya kami telah menurunkan al Qur’an dan sesungguhnya kami memeliharanya. (Q.S. Al Hijr 9)
Oleh karena itu, pembahasan dalam makalah ini akan berfokus pada pembahasan tentang makna yang terkadung di dalam nash Qur’an, sejauh mana makna yang terkandung di dalamnya memiliki petunjuk hukum sebagai dasar hukum Islam pada perkembanganya. Sebagaiman banyak kita ketahui nash Qur’an ataupun al hadist dapat menjadi landasan hukum jika dilalah (petunjuk) maknanya qoth’I dan zhonni artinya.
Menurut etimologi, qothii sebagaimana dipaparkan oleh Badri Khaeruman, bahwa qothii berasal dari lafat qothoa- yaqtho’u- qhoto’an yang memiliki arti Abana yubinu ibanatan: memisahkan, menjelaskan. Qothoa juga berarti decided (pasti), definite (tertentu), positive (meyakinkan), final, definitive (pasti, menentukan). Dan  Zhonni adalah bersal dari zhonayazhunu-zhonan yang berarti samar atau yang masih berupa asumsi, dugaan, anggapan dan hipotesis.[10]
Sedangkan menurut terminology, menurut Abdul Wahab kholaf nash yang qothii adalah nash yang menunjukan makna yang difahami secara tertentu tidak memerlukan takwil dan tidak mungkin difahami dengan makna yang lain. Sedangkan menurutnya pula nash yang dzonni adalah nash yang menunjukan makna tetapi dimungkinkan adanya takwil atau mungkin untuk dipalingkan dari makna asal kepada makna lain.[11]
Yusuf Qardawi sebagaiman dikutip oleh Badri Khairun berpandangan maslah-maslah yang qothii dalam kajian hukum Islam adalah masalah-maslah hukum yang diketahui umum, diberlakukan secara umum dan tidak dapat menerima interprestasi lain lagi. Pengertianya sedemikian jelas dan otentik, baik dalam teori atau praktik. Masalah-maslah itu diketahu berkesinambungan sejak zanman Rasullah SAW., berlanjut dari generasi kegenarasi yang akan datang. Jenis aturan-aturan itu merupakan bagian dan pengertian umum Mujma’alaih wa ma’lum minaddin bidhorurah. [12]
Sementara itu, sumber hukum atau dalil yang zhonniy adalah dalil hukum yang tidak pasti menunjukan pengertian tertentu, tapi hanya biasa diupayakan oleh seorang mujtahid dan mufasir pada dugaan yang kuat (zhan). Menurut Abdul Wahab Kholaf, Nash yang Zhonniy adalah nash yang menunjukan suatu makna tertentu, tapi masih mengandung kemungkinan takwil atau penyimpangan makna dari makna semula dan makna dasar  kepada makna-makna yang lain.[13] Dan menurut Yusuf Qardawi pula zhonniy dalalah adalah dalil-dalil yang memungkinkan penafsiaran yang berbeda dan dijadikan wilayah ini sebagai lapangan ijtihad sehingga memungkinkan adanya pertarungan berbagai paham sehingga fiqih Islam mengalami perkembangan dan regenerasi. [14]
Al Sarakshi dalam kitabnya sebagaimana dinukil oleh Kholidah mengatakan, bahwa ada tiga macam yang menjadi obyek ijtihad, 1) hadist yang diriwayatkan sesorang atau beberapa orang, tapi jumlah perowinya tidak sampai tingkat mutawatir. Artinya hadist itu diduga palsu meskipun dugaan itu kecil, dalam hal ini para mujtahid melakukan ijtihad dengan menguji kebenaran jalur periwayatanya. 2) redaksi ayat (al Qur’an maupun hadist) yang mengandung pengertian zhoni. Dalam hal ini ijtihad mengambil peran untuk menetukan makna yang sebenarnya yang dimaksud redaksi nash. 3) semua persoalan yang  tidak ada ketentuan hukumnya, baik dalam al Qur’an, hadist maupun ijma’, dalam hal ini, ijtihad mempunyai peranan penting untuk meneliti dan menemukan hukum kasus yang terjadi melalui kasus-kasus hukum yang terdapat dalam AlQur’an dan hadist.[15]   
Untuk membedakan nash Qur’an yang memiliki petunjuk Qothi’ dan nash yang memiliki petunjuk Zhanii, dalam hal ini Abdul Wahab Kholaf memberikan beberpa contoh ayat :[16]
a.       Nash yang bersifat Qothi’ Al Dilalah
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ آَزْوَجُكُمْ اِنْ لَمْ يَكُنْ وَلَدٌ
Artinya : Dan bagimu (suami-suami) seper dua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai anak. (Q.S Al Niasa 12)
Petunjuk hukum ayat di atas adalah qothii (pasti), karena bagian suami pada masalah waris dalam ayat tersebut adalah setengah, tidak yang lain. Juga firman Allah tentang hukuman bagi orang laki-laki dan perempuan yang berbuat zina: 

فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَحِدٍ مِنْهُمَا مِائةَ جَلْدَةٍ
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka hukumlah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera. (Q.S. An Nur 2)
Petunjuk hukum ayat ini juga pasti, yakni hukuman zina adalah seratus kali dera, tidak kurang dan tidak lebih. Begitu juga nash yang menjelaskan bagian waris atau jumlah hukuman dan batas minimal zakat tertentu.
b.      Nash yang bersifat zhanii al dilalah.
وَمُطَلَقَاتُ يَتَرَبَصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوْءِ
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali Quru’ (Q.S. Al Baqorah 228)
Lafal Quru’ dalam bahasa Arab memiliki dua makna, suci dan haid. Sedangkan dalam nash diterangkan bahwa wanita-wanita yang ditalak itu hendaknya menunggu tiga kali quru’, sehingga mungkin dikehnadaki adalah tiga kali suci atau tiga kali haid. Jadi petunjuk ini belum pasti pada satu makna dari dua makna yang ada. Oleh karena itu para mujtahid berbeda dalam memberikan hukum terhadap wanita-wanita yang ditalak, sebagian berpendapat tiga kali suci dan ada yang berpendapat tiga kali haid.
Contoh lain adalah firman Allah tentang bangkai:
حُرِمَتْ عَلَيْكُمُ المَيْة والدَّمُ
Artinya: Diharamkan bagimu memakan bangkai dan dara. (Q.S. Al Maidah 3)
Lafal al Maytah (bangkai) bersifat umum, sedang nash memungkinkan untuk diberi makna semua bangkai dan mungkin dikhususkan, kecuali bangkai binatang laut (air), maka semua nash yang mempunyai makna ganda, umum mutlak atau semisalnya, petunjuk hukumnya adalah dugaan, karena nash itu menentukan makna tertentu tetapi mungkin juga menunjukan makna yang lain.
 
E.       Penutup.
Qur’an adalah kitab suci yang berfungsi sebagai sumber hukum Islam, ia menjadi hirarki utama dibanding sumber hukum Islam lainya. Ia diriwayatkan secara mutawatir dan keorisinilanya tidak berubah karena ia diturunkan secara maknan wa lafzhon, artinya dimanapun ia berada ia akan memiliki makna dan lafat yang sama, hal ini yang membedakan kitab-kitab lain yang berubah sesuai dengan bahasa pemegangnya.
Makna dan lafal qur’an menurut petunjuknya untuk dijadikan sumber hukum Islam memiliki dua petunjuk (dilalah), petunjuk yang jelas dan tidak ada lafat yang memiliki kesamaan makna dan tidak dapat diartikan lain disebut dengan petunjuk yang jelas (Dilalah Qothiyah), sedangkan petunjuk (dilalah) yang tidak jelas, karena membutuhkan pen-ta’wil-an atau memiliki berberapa makna, dilalah ini disebut dilalah zhoniyah.
Nash qur’an yang memiliki Dilalah zhoniyah, adalah bagian dalil yang perlu untuk di ijtihadi agar hukum yang didalamnya dapat dikelurakan. Banyak ulama mensepakati hal tersebut, dengan demikian adanya dilalah zhoniyah dalam nash qur’an maka memunculkan ilmu fikih yang merupakan hasil dari ijtihad ulama madzhab.








DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr.H. Abdul Djalal. H.A. Ulumul Qur’an. DuniaIlmu. Surabaya. 2008.
Nasr Abu Zaid, Tekstulalis Qur’an, Kritik Terhadap Ulumul Qur’an. LKIS Pelangi Aksara, Jogja. 2005.
Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Terjemah Ilmu Ushul Fikih (Faiz El Muttaqin.S.Ag).Pustaka Amani Jakarta.2003.
Muhammad Khudari Bek. Tarikh Tasri’ Al Islami. Al Hidayah. Surabaya.
Dr. Badri Khaeruman. M.Ag. Hukum Islam Dalam Perubahan Sosial. Pustaka Setia, Bandung, Tahun. 2010
Khalidah Qathi dan zhonni menurut Masdar Farid Mas’udi. Fithrah Vol.2 No 1 Januari-Juni 2016.


[1]Prof. Dr.H. Abdul Djalal. H.A. Ulumul Qur’an. DuniaIlmu. Surabaya. 2008. Hal. 4
[2] Nasr Abu Zaid, Tekstulalis Qur’an, Kritik Terhadap Ulumul Qur’an. LKIS Pelangi Aksara, Jogja. 2005. Hal 57
[3] Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Terjemah Ilmu Ushul Fikih (Faiz El Muttaqin.S.Ag).Pustaka Amani Jakarta.2003. hal 17
[4]Ibid. Prof. Dr. H. Abdul Djalal. H.A. Hal 9
[5] Muhammad Khudari Bek. Tarikh Tasri’ Al Islami. Al Hidayah. Surabaya. Hal 1
[6] Proses turunya Qur’an adalah berangsur-angsur 22 tahun 2 bulan 22 hari. Surat pertama yang turun adalah surat Al Alaq 1-5 saat nabi berusia 41 tahun dan ayat terakhir turun menurut satu persi adalah surat Al maidah ayat 5.
[7] ibid Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf…hal 13
[8] Ibid hal 33
[9] Dr. Badri Khaeruman. M.Ag. Hukum Islam Dalam Perubahan Sosial. Pustaka Setia, Bandung, Tahun. 2010. Hal 56
[10] Ibid
[11] Ibid Abdul Wahab Khalaf….. Hal 36-37
[12] Ibid. Badri Khairuman. Hal 65
[13] Ibid. Hal. 60
[14] Ibid.  hal.65
[15] Khalidah Qathi dan zhonni menurut Masdar Farid Mas’udi. Fithrah Vol.2 No 1 Januari-Juni 2016. Hal 23
[16] Ibid Abdul Wahab Khalaf Hal 37-38

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI HUKUM ISLAM

SEBAIK-BAIK TEMAN ADALA HUKAMA DAN ULAMA

METODOLOGI DAN PENDEKATAN STUDY ISLAM ERA KLASIK DAN MODERN