QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM
A.
Pendahuluan
Tidak
dapat dipungkiri bahwa mengikuti Qur’an dalam
kehidupan umat muslim adalah sebuah kewajiban. Dalam agama Islam, Qur’an
merupakan sabada tuhan yang berisikan aturan-aturan kehidupan hambanya. Berbeda
dengan kitab-kitab suci lain yang dapat difahami secara praktis, Qur’an dapat difahami
dan diambil petunjuknya jika ada dilalah yang jelas. Dilalah itu dianggap
jelas jika mengacu pada lafal Qur’an itu sendiri dan Hadist Nabi sebagai
penjelas maksud qur’an.
Dari
fenomena Qur’an tidak dapat difahami sebagaimana kitab-kitab lain, munculah rumusan,
bahwa dalam memahami kandungan Qur’an dalam keyakinan seseorang ada dua kayakinan
terhadap kebenaranya, dua keyakinan itu diistilahkan oleh para ahli dengan Dilalah
Quraniyah. Dilalah Qur’aniyah adalah petunjuk hukum yang terkandung di
dalam Qur’an, dilalah yang dimaksud adalah bersifat Qoth’I dan Dhoni.
Memahami konsep petunjuk qothi’ dan zhonnyi dalam istimbathil hukmi
adalah proses yang sangat peting. Tanpa memahaminya, maka hukum Islam tidak akan
tercapai tujuannya sebagai hal yang mengatur kehidupan manusia.
Dalam
makalah ini penyusun akan membahas lebih lanjut posisi Qur’an sebagai sumber hukum
Islam, dan juga akan membahas tentang dua Dilalah Qur’aniyah yang terkandung
didalam Qur’an sebagai petunjuk bagi umat muslim.
B.
Pengertian Qur’an.
Jika
kita melihat beberapa literature, maka kita akan temukan beberapa pendapat yang
berbeda-beda dalam medifinisikan Qur’an. Dalam buku yang ditulis oleh Prof.
Dr.H. Abdul Djalal. H.A, ia mengungkapkan lima definisi Qur’an yang berbeda,
perbedaaan itu karena berbedanya ulama yang mendifinisikan. Namun walau dengan demikian,
varian definisi Qur’an tersebut bukanlah
untuk menyalahkan atau membenarkan salah satunya. Perbedaan definisi tersebut harus
disadari karena perbedaan sudut pandang dan dasar pemikiran para pembuat definisi,
sehingga perbedaan itu diasumsikan sebagian dari kekayaan khazanah keilmuan.
Definisi
Qur’an sebagaimana dikutip Oleh Prof. Dr.H. Abdul
Djalal. H.A dari Al Lihyani (Wafat 355 H), Al Qur’an itu adalah lafal mashdar
yang semakna dengan lafal qur’anan ikut wazan fu’lanan yang
diambil dari lafal: Qur’a-yaqra’u-qur’anan dan seperti lafal syakara-syukraanan
dan ghafara–gufranan dengan arti kumpul atau menjadi satu.[1]Ada
juga yang mengatakan bahwa Qur’an diambil dari bentuk masdar qara’ah
yang berarti berulang-ulang. Hal ini ditegaskan oleh Hamid Abu Zaid[2] seraya
mengatakan “kata Qur’an (ayat 17) yang dihubungkan dengan kata jam’a(hu),
menegaskan adanya perbedaan (makna). Ayat yang kedua (18) muncul untuk
menegaskan bahwa Qur’an adalah bentuk masdar dari qara’a dengan arti
membaca, yang berarti pengulangan dan pen-tartil-an”.
اِنَّ
عَلَيْنَا جَمْعُهُ وَقَرَأْنَهُ القيامة -17 فَاِذَا قَرَأْنَهُ فَاتَّبِعُ قَرَأْنَهُ القيامة18-
Artinya: sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkan (di
dalammu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai
membacakannya, maka ikutilah bacaannya. (Al Qiyamah 17-18)
Sedangkan
Qur’an menurut istilah sebagaimana diungkapkan Abdul Wahab Khalaf kurang lebih adalah
firman Allah yang diturunkan oleh Allah dengan perantara Jibril ke dalam hati Rasullah
Muhammad bin Abdulah dengan lafal Arab dan makna yang pasti sebagai bukti bagi rasul
bahwasanya dia adalah utusan Allah, sebagai undang-undang sekaligus petunjuk bagi
manusia dan sarana pendekatan (seorang hamba kepada tuhannya), sekaligus sebagai
ibadah bila dibaca.[3]
Menurut
istilah yang diungkapkan oleh Dr. A. Yusuf Qosim sebagaimana dinukil oleh Abdul Djalal.
H.A,[4] Bahwa
Qur’an ialah Kalam al mu’jiz yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW
yang tertulis dalam Mushaf, yang diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya adalah
ibadah.
Sedang
Qur’an menurut istilah turunnya pada Rasullulah, Muhammad Khudari Bek[5]
mengungkapkan, bahwa Qur’an adalah apa yang diturunkan kepada Muhammad SAW
secara berangsur-angsur dimulai dari 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran
beliau. Diwahyukan di gua Hira sebuah surat Al A’laq 1-5 dan wahyu terakhir turun
pada 9 Zulhijah 10 H tahun 63 kelahiran nabi, surat yang diturunkan Al Maidah
ayat 5.[6]
Mencermati
definisi yang dipaparkan oleh beberapa Ahli, kita dapat manarik kesimpulan
bahwa unsur Al Qur’an yang dapat membedakannya dari yang lain. Unsur pertama
adalah Qur’an berupa wahyu, sehingga Qur’an bukan merupakan kalam
Muhammad dan bukan kalam yang didasari kepetingan pribadinya. Unsure kedua
adalah tentang penurunan Qur’an. Bahwa dalam definisi di atas Qur’an diturunkan
tidak langsung kepada nabi Muhammad, melainkan Qur’an diturunkan menggunakan perantara
Jibril, yang kemudian wahyu itu disampaikan kepada nabi Muhammad. Unsur ketiga
adalah Qur’an sebuah wahyu yang diturunkan berupa lafal dan makna, sehingga
ia berbeda dengan kitab-kitab suci lain dan berbeda dengan hadist qudsi atau
hadist nabawi yang lafatnya dari nabi atau sesuai perawihnya. Unsur keempat
adalah Qur’an sebagai mu’zijat atau sebagai alat pelemah musuh-musuh Nabi
Muhammad khususnya dalam bidang kesusatraan. Unsur kelima adalah Qur’an
sebagai media mendekatkan diri seorang hamba pada tuhannya yang bernilai ibadah
jika ia dibaca, dan yang terakhir adalah, ia berupa mushaf yang diriwayatkan secara
mutawatir sehingga keorisinalitasanya lebih terjaga.
C.
Dasar Hukum Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam.
Berdasarkan
penelitian telah ditetapkan bahwa dalil syara’ yang menjadi dasar pengambilan
hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia itu ada empat: al Qur’an, As Sunnah,
Al ijma’dan qiyas. Dan mayoritas tokoh umat Islam telah sepakat
bahwa empat hal itu dapat digunakan sebagai dalil.[7]
Kaum
muslimin bersepakat hirarkhi suber hukum Islam tertinggi adalah Qur’an, dan keyakinan
bahwa Qur’an adalah pesan tuhan adalah sebuah kewajiban. Hirarkhi sumber hukum Islam
dapat kita fahami dari surat Anisa 59.
ياَيُّهَا
الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اَطِيْعُوْا اللَّه وَأَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَأُوْلِي
الْاَمْرِمِنْكُم فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدوهُ اِلَى اللهِ والرسوْل
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatlah pada Allah dan taatlah
pada rasullnya dan ulil amri di anatara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah pada Allah (Qur’an) dan rasul (as
Sunah). (Q.S. An Nisa’ 59)
Qur’an
sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, tidak ada keraguan tentang
kebenarannya.
ذَلِكَ
الْكِتَابُ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَقِيْنَ
Artinya: Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya,
(sebagai ) petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (Q.S. Al Baqorah. 2)
Seruan tentang
menerima apa saja yang dari Rasulullah, baik perintah atau larangan, jika Rasul
memerintah, maka lakukan, dan apa yang rasull larang, maka tinggalkan:
وَمَا
أَتَاكُمْ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْه وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهَ فَانْتَهُوْا
Artinya: Apa yang diberikan rasul kepadamu, maka terimahlah ia,
dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah. (Q.S Al hasyr 7)
اِنَّ
الْحُكْمُ اِلاَاللَّه يَقْصُ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الفَاصِلٍيْنَ
Artinya: Menetapkan hukum hanyalah hak Allah, Dia menerangkan
sebenarnya dan Dia pemberi putusan yang paling baik. (QS. Al Aln’am57)
مَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا اَنْزَلَ اللَّه فأُوْلَئِكَ هُمُ الْضَلِمُوْنَ
Artinya
:Barang siapa yang tidak menghukumi dengan sesuatu yang telah diturunkan
oleh Allah, maka mereka termasuk orang-orang yang Zholim.
Dari
ayat di atas bahawa Qur’an adalah sumber hukum utama dalam beragama Islam dan
sumber hukum Islam, urutan dasar hukum selanjutnya adalah as sunnah, ijma
dan terakhir adalah qiyas. Qur’an memiliki fungsi yang sangat urgent, ia
bisa sebagai petunjuk, bisa juga sebagai nasihat, bisa juga sebagai penjelas
dan lain sebagainya.
Selanjutnya
hukum yang terkandung dalam Qur’an menurut Abdul Wahab Kholaf ada tiga macam.[8] Pertama adalah Hukum akidah,
yakni hukum yang berhubungan dengan hal-hal yang wajib diyakini oleh seorang
mukalaf tentang Allah, Malaikat, para Rasul
dan hari kemudian. Kedua, hukum akhlak, yakni hukum yang
berhubungan dengan kewajiban seorang mukalaf untuk melakukan hal-hal yang utama
dan meninggalkan hal yang hina. Ketiga, adalah hukum perbuatan,
yakni hukum yang bertalian dengan ucapan, perbuatan, akad atau penglolaan yang
timbul dari seorang mukalaf.
Telah
dipaparkan di atas bahwa Qur’an tidak dapat difami secara praktis sebagaimana
kitab-kitab yang lain. Namun demikian bukan berarti Qur’an lantas ditinggalkan
karna sulit difahami dan memilih taklid buta kapada para Mujtahid dan para
mufasir. Qur’an tetap wajib dipelajari dan diexplore isinya sehingga ia mampu
menjadi sumber hukum Islam kapan saja. Diakui memang Qur’an memiliki jumlah
surat dan ayat yang terbatas, namun dengan pengkajian secara mendalam Qur’an
pasti dapat menjawab persoalan-persoalan hukum yang berkembang.
Menurut
Abdul Wahab Kholaf yang juga dikutip oleh Badri Khaeruman menyatakan bahawa
ayat dalam Qur’an yang bermutan hukum dalam bidang muamalat berkisar antara 23
sampai 250 ayat dari jumlah keseluruhan ayat Qur’an yang lebih dari 6000 ayat. Jadi, jumlah ayat
hukum dalam Qur’an sekitar 3-4 % dari seluruh ayat Al –Qur’an. Bahkan menurut
Rasyidi, ayat-ayat Al Qur’an yang mengandung hukum lebih kurang 200 ayat, yakni
3 % dari jumlah seluruhnya. [9]
D.
Dalalah Qoth’iyah dan Zhaniyah.
Banyak
leteratur menjelaskan bahwa turunya Qur’an hingga dikodifikasi menjadi mushaf
dan pada giliranya samapai pada kita saat ini merupakan Qur’an yang benar-benar
dari Allah, ia tidak mengalami perubahan lafal atau pun makna yang
dikandungnya. Dalam hal ini makalah yang ada ditangan pembaca tidak akan
membahas panjang lebar tentang keorisinilan Qur’an yang samapai pada kita saat
ini. Pembahasan ini hanya akan membahas tentang kandungan hukum yang dikandung
oleh Qur’an yang terjamin keorisinilanya karena periwayatan Qur’an dianggap
mutawtir oleh para ulama. Dan sebagaimana kita tahu Allah menjaga Qur’an dari
tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab, dengan tidak merubah lafal dan
makna yang dikandungnya. Allah berfirman dalam surat Al Hijr ayat 9.
اِنَّا
نَحْنُ نَزَّلْنَا الّذِكْرَ وَاِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ
Artinya: Sesungguhnya kami telah menurunkan al Qur’an dan
sesungguhnya kami memeliharanya. (Q.S. Al Hijr 9)
Oleh
karena itu, pembahasan dalam makalah ini akan berfokus pada pembahasan tentang
makna yang terkadung di dalam nash Qur’an, sejauh mana makna yang terkandung di
dalamnya memiliki petunjuk hukum sebagai dasar hukum Islam pada perkembanganya.
Sebagaiman banyak kita ketahui nash Qur’an ataupun al hadist dapat
menjadi landasan hukum jika dilalah (petunjuk) maknanya qoth’I
dan zhonni artinya.
Menurut
etimologi, qothii sebagaimana dipaparkan oleh Badri Khaeruman, bahwa qothii
berasal dari lafat qothoa- yaqtho’u- qhoto’an yang memiliki arti Abana
yubinu ibanatan: memisahkan, menjelaskan. Qothoa juga berarti decided
(pasti), definite (tertentu), positive (meyakinkan), final, definitive
(pasti, menentukan). Dan Zhonni
adalah bersal dari zhona –yazhunu-zhonan yang berarti samar atau
yang masih berupa asumsi, dugaan, anggapan dan hipotesis.[10]
Sedangkan
menurut terminology, menurut Abdul Wahab kholaf nash yang qothii adalah
nash yang menunjukan makna yang difahami secara tertentu tidak memerlukan
takwil dan tidak mungkin difahami dengan makna yang lain. Sedangkan menurutnya
pula nash yang dzonni adalah nash yang menunjukan makna tetapi
dimungkinkan adanya takwil atau mungkin untuk dipalingkan dari makna asal
kepada makna lain.[11]
Yusuf
Qardawi sebagaiman dikutip oleh Badri Khairun berpandangan maslah-maslah yang qothii
dalam kajian hukum Islam adalah masalah-maslah hukum yang diketahui umum,
diberlakukan secara umum dan tidak dapat menerima interprestasi lain lagi.
Pengertianya sedemikian jelas dan otentik, baik dalam teori atau praktik.
Masalah-maslah itu diketahu berkesinambungan sejak zanman Rasullah SAW.,
berlanjut dari generasi kegenarasi yang akan datang. Jenis aturan-aturan itu
merupakan bagian dan pengertian umum Mujma’alaih wa ma’lum minaddin
bidhorurah. [12]
Sementara
itu, sumber hukum atau dalil yang zhonniy adalah dalil hukum yang tidak
pasti menunjukan pengertian tertentu, tapi hanya biasa diupayakan oleh seorang
mujtahid dan mufasir pada dugaan yang kuat (zhan). Menurut Abdul Wahab
Kholaf, Nash yang Zhonniy adalah nash yang menunjukan suatu makna tertentu,
tapi masih mengandung kemungkinan takwil atau penyimpangan makna dari makna
semula dan makna dasar kepada
makna-makna yang lain.[13] Dan
menurut Yusuf Qardawi pula zhonniy dalalah adalah dalil-dalil yang
memungkinkan penafsiaran yang berbeda dan dijadikan wilayah ini sebagai
lapangan ijtihad sehingga memungkinkan adanya pertarungan berbagai paham
sehingga fiqih Islam mengalami perkembangan dan regenerasi. [14]
Al Sarakshi
dalam kitabnya sebagaimana dinukil oleh Kholidah mengatakan, bahwa ada tiga
macam yang menjadi obyek ijtihad, 1) hadist yang diriwayatkan sesorang atau
beberapa orang, tapi jumlah perowinya tidak sampai tingkat mutawatir. Artinya
hadist itu diduga palsu meskipun dugaan itu kecil, dalam hal ini para mujtahid
melakukan ijtihad dengan menguji kebenaran jalur periwayatanya. 2) redaksi ayat
(al Qur’an maupun hadist) yang mengandung pengertian zhoni. Dalam hal
ini ijtihad mengambil peran untuk menetukan makna yang sebenarnya yang dimaksud
redaksi nash. 3) semua persoalan yang
tidak ada ketentuan hukumnya, baik dalam al Qur’an, hadist maupun ijma’,
dalam hal ini, ijtihad mempunyai peranan penting untuk meneliti dan menemukan
hukum kasus yang terjadi melalui kasus-kasus hukum yang terdapat dalam AlQur’an
dan hadist.[15]
Untuk
membedakan nash Qur’an yang memiliki petunjuk Qothi’ dan nash
yang memiliki petunjuk Zhanii, dalam hal ini Abdul Wahab Kholaf
memberikan beberpa contoh ayat :[16]
a.
Nash
yang bersifat Qothi’ Al Dilalah
وَلَكُمْ
نِصْفُ مَا تَرَكَ آَزْوَجُكُمْ اِنْ لَمْ يَكُنْ وَلَدٌ
Artinya : Dan bagimu (suami-suami) seper dua dari harta yang
ditinggalkan oleh istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai anak. (Q.S Al
Niasa 12)
Petunjuk
hukum ayat di atas adalah qothii (pasti), karena bagian suami pada masalah
waris dalam ayat tersebut adalah setengah, tidak yang lain. Juga firman Allah
tentang hukuman bagi orang laki-laki dan perempuan yang berbuat zina:
فَاجْلِدُوْا
كُلَّ وَحِدٍ مِنْهُمَا مِائةَ جَلْدَةٍ
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
hukumlah tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera. (Q.S. An Nur 2)
Petunjuk
hukum ayat ini juga pasti, yakni hukuman zina adalah seratus kali dera, tidak
kurang dan tidak lebih. Begitu juga nash yang menjelaskan bagian waris
atau jumlah hukuman dan batas minimal zakat tertentu.
b.
Nash
yang bersifat zhanii al dilalah.
وَمُطَلَقَاتُ
يَتَرَبَصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوْءِ
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali Quru’ (Q.S. Al Baqorah 228)
Lafal
Quru’ dalam bahasa Arab memiliki dua makna, suci dan haid. Sedangkan
dalam nash diterangkan bahwa wanita-wanita yang ditalak itu hendaknya menunggu
tiga kali quru’, sehingga mungkin dikehnadaki adalah tiga kali suci atau
tiga kali haid. Jadi petunjuk ini belum pasti pada satu makna dari dua makna
yang ada. Oleh karena itu para mujtahid berbeda dalam memberikan hukum terhadap
wanita-wanita yang ditalak, sebagian berpendapat tiga kali suci dan ada yang
berpendapat tiga kali haid.
Contoh
lain adalah firman Allah tentang bangkai:
حُرِمَتْ
عَلَيْكُمُ المَيْة والدَّمُ
Artinya:
Diharamkan bagimu memakan bangkai dan dara. (Q.S.
Al Maidah 3)
Lafal
al Maytah (bangkai) bersifat umum, sedang nash memungkinkan untuk diberi
makna semua bangkai dan mungkin dikhususkan, kecuali bangkai binatang laut
(air), maka semua nash yang mempunyai makna ganda, umum mutlak atau semisalnya,
petunjuk hukumnya adalah dugaan, karena nash itu menentukan makna tertentu
tetapi mungkin juga menunjukan makna yang lain.
E.
Penutup.
Qur’an
adalah kitab suci yang berfungsi sebagai sumber hukum Islam, ia menjadi hirarki
utama dibanding sumber hukum Islam lainya. Ia diriwayatkan secara mutawatir dan
keorisinilanya tidak berubah karena ia diturunkan secara maknan wa lafzhon,
artinya dimanapun ia berada ia akan memiliki makna dan lafat yang sama, hal ini
yang membedakan kitab-kitab lain yang berubah sesuai dengan bahasa pemegangnya.
Makna
dan lafal qur’an menurut petunjuknya untuk dijadikan sumber hukum Islam
memiliki dua petunjuk (dilalah), petunjuk yang jelas dan tidak ada lafat yang
memiliki kesamaan makna dan tidak dapat diartikan lain disebut dengan petunjuk
yang jelas (Dilalah Qothiyah), sedangkan petunjuk (dilalah) yang tidak jelas,
karena membutuhkan pen-ta’wil-an atau memiliki berberapa makna, dilalah
ini disebut dilalah zhoniyah.
Nash qur’an yang memiliki
Dilalah zhoniyah, adalah bagian dalil yang perlu untuk di ijtihadi agar
hukum yang didalamnya dapat dikelurakan. Banyak ulama mensepakati hal tersebut,
dengan demikian adanya dilalah zhoniyah dalam nash qur’an maka
memunculkan ilmu fikih yang merupakan hasil dari ijtihad ulama madzhab.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof.
Dr.H. Abdul Djalal. H.A. Ulumul Qur’an. DuniaIlmu. Surabaya. 2008.
Nasr
Abu Zaid, Tekstulalis Qur’an, Kritik Terhadap Ulumul Qur’an. LKIS Pelangi
Aksara, Jogja. 2005.
Prof.
Dr. Abdul Wahab Khalaf, Terjemah Ilmu Ushul Fikih (Faiz El
Muttaqin.S.Ag).Pustaka Amani Jakarta.2003.
Muhammad
Khudari Bek. Tarikh Tasri’ Al Islami. Al Hidayah. Surabaya.
Dr.
Badri Khaeruman. M.Ag. Hukum Islam Dalam Perubahan Sosial. Pustaka Setia, Bandung,
Tahun. 2010
Khalidah
Qathi dan zhonni menurut Masdar Farid Mas’udi. Fithrah Vol.2 No 1 Januari-Juni
2016.
[1]Prof.
Dr.H. Abdul Djalal. H.A. Ulumul Qur’an. DuniaIlmu. Surabaya. 2008. Hal. 4
[2]
Nasr Abu Zaid, Tekstulalis Qur’an, Kritik Terhadap Ulumul Qur’an. LKIS Pelangi
Aksara, Jogja. 2005. Hal 57
[3]
Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf, Terjemah Ilmu Ushul Fikih (Faiz El
Muttaqin.S.Ag).Pustaka Amani Jakarta.2003. hal 17
[4]Ibid.
Prof. Dr. H. Abdul Djalal. H.A. Hal 9
[5]
Muhammad Khudari Bek. Tarikh Tasri’ Al Islami. Al Hidayah. Surabaya. Hal 1
[6]
Proses turunya Qur’an adalah berangsur-angsur 22 tahun 2 bulan 22 hari. Surat
pertama yang turun adalah surat Al Alaq 1-5 saat nabi berusia 41 tahun dan ayat
terakhir turun menurut satu persi adalah surat Al maidah ayat 5.
[7]
ibid Prof. Dr. Abdul Wahab Khalaf…hal 13
[8]
Ibid hal 33
[9]
Dr. Badri Khaeruman. M.Ag. Hukum Islam Dalam Perubahan Sosial. Pustaka Setia,
Bandung, Tahun. 2010. Hal 56
[10]
Ibid
[11]
Ibid Abdul Wahab Khalaf….. Hal 36-37
[12]
Ibid. Badri Khairuman. Hal 65
[13]
Ibid. Hal. 60
[14]
Ibid. hal.65
[15]
Khalidah Qathi dan zhonni menurut Masdar Farid Mas’udi. Fithrah Vol.2 No 1
Januari-Juni 2016. Hal 23
[16]
Ibid Abdul Wahab Khalaf Hal 37-38
Komentar
Posting Komentar