HUTANG NEGARA, PEMBANGKITAN EKONOMI ATAU TAMBAHAN BEBAN NEAGRA




Diketahui bersama penggunaan hutang Negara pemerintahan Jokowi lebih terkonsentrasi pada infrastruktur dan juga sektor pariwisata, dimana pembiyaan infratruktur dan juga pawisata tersebut diharapkan oleh pemerintah dapat menjadi sumber keuangan yang baru. Berbeda dengan hutang Negara yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya, yang mana pemerintah melakukan hutang luar negeri untuk program pengentasan kemiskinan. Program pengetasan kemiskinan tersebut dianggap tidak produktif sehinga tidak akan menghasilkan sumber keuangan baru bagi negara. Pertanyaanya benarkah hutang negera untuk pembiayaan sektor produktif tidak memiliki resiko beban Negara?, Logikanya, jika pemerintah hutang kepada pihak swasta atau luar negeri dengan bunga besar, ia harus membayar cicilan hutang dan juga bunga hutang yang dibebankan pada APBN setiap tahunya, hal ini tentu akan mengurangi penggunaan pendapatan secara maksimal. Terlebih jika pemerintah gagal dalam menglolah sektor yang yang diproyeksikan akan menghasilkan laba besar.
Beberapa bulan ini pemerintahan Jokowi memiliki tingkat kepercayaan publik yang bisa dianggap baik. Sebagaimana diwartakan oleh salah satu media, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah Jokowi menempati tingkat pertama dunia. Dalam media tersebut menyebutkan sebuah orgnisasi  yang dikenal dengan Organition For Economi Co-Operation And Develoment melaporkan survei yang dilakukan oleh Gellup World Poll. Dalam survei itu pemerintah Indonesia memiliki nilai 80 persen kepercayaan masyakat, disusul Negara Switzerland, India,  Luxemburg dan Norwegia. Hasil survei yang dilakukan lembaga tersebut menunjukan bahwa ada keberhasilan yang dilakukan oleh pemerintah Jokowi bebera tahun belakangan.
Sebelum survei Gellup Word Poll dipublikasikan, pada Mei 2017 Kompas mewartakan bahwa hutang Indonesia per 30 April 2017 sudah mencapai  Rp. 3.66 T. Mentri Kordinator Perekonomian Indonesia, Darmin Nasution memandang hutang Indonesia saat itu masih belum pada situasi yang membahayakan, ia membandingkan hutang Negara lain yang jauh lebih besar dibanding Negara Indonesia. Hal yang berbeda ungkapan para pengamat yang membandingkan hutang pemerintah Jokowi dengan hutang pemerintah sebelumnya. Detik Finance (14 Juli 2017) mengatakan selama 2,5 Tahun pemerintahan Jokowi melakukan kebijakan hutang Indonesia besar-besran, sehinggahutang negara bertambah menjadi 1.026 terliun, hal ini dalam media tersebut membandingkan hutang pemerintahan Jokowi dengan lima tahun hutang  pemerinthan Susilo Bambang Yudoyono.
Menurut mentri keuangan Sri Mulyani, kenaikan jumlah hutang pemerintah dipengaruhi oleh peleberan defisit yang dimulai sejak tahun 2011, dan pada tahun 2016 defisit anggaran mencapai Rp. 307 T atau 2,46 persen dari Produk Domistik Broto. Beberapa pakar mengatakan terjadinya defisit dipengaruhui oleh penerimaan pajak yang kurang optimal, ekspor-impor  dan beberapa hal sehingga pemerintah menambalnya denga hutang Negara. Berbeda dengan pendapat pakar tentang meningkatnya hutang Negara, Darmin sebagaimana dikutip dari detik finance (13/06/2017)  mengatakan “pinjaman (hutang) tinggi bukan karena pemerintah boros, tapi untuk membangun infrastruktur”, adanya infrastruktur menurut Darwin akan meningkatkan perekonomian masyakat dan dapat mengundang banyak investor untuk menanam modal di Indonesia.
Dalam teori, hutang Negara harus disesuaikan dengan penadapatan Negara, artinya hutang Negara dan pendapatan negera minimal memiliki keseimbangan, sehingga Negara dapat membayar cicilan hutang dan bunga hutang setaip tahunya. Ketidak seimbangan pendapatan Negara dan hutang Negara sebagaimana kita ketahui bersama terjadi pada mulai krisis moneter tahun 1998, dimana keuangan negara secara terus menerus mengalami deficit. Menurut Wakil Ketua Ekonomi dan Industri Nasioanal,  Arif Budimanta sebagaimana diwartakan oleh detik finance (13 Juli 2017) mengatakan “pada tahun 2016 hutang (negera) tumbuh 11 % dan penerimaan hanya 3%”, melihat undang-undang No 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara yang membatasi hutang maksimal 60 % dari Produk Domestik Bruto, Hutang Indonesia saat ini mencapai 28 % dari Produk Domestik Bruto.
Hutang Negara yang tidak diimbangi dengan pendapatan Negara pasti akan menyebabkan defisit, ketika terjadi defisit terus menerus, maka semakin besar kemungkinan sebuah Negara akan melakukan kebijakan hutang lagi, dan tidak menutup kemungkinan akan juga menambah hutang dan bunga hutang setiap tahunya. Jika tidak terjadi keseimbangan anatara pendapatan dan anggaran secara terus menerus, maka Negera sudah dipastikan akan melakukan kebijakan hutang kembali untuk membayar hutang yang telah jatuh tempo begitu seterusnya. Jika terjadi hutang dan ketidak mampuan membayar hutang terjadi secara terus menerus, maka upaya pemerintah melakukan penjualan aset Negara.
Selain itu kesan yang muncul dan Nampak jelas, ketidak seimbangan anatara pendapatan negara dan juga anggaran belanja Negara  secera terus menerus akan memunculkan warisan hutang secara terus menerus oleh pemerintah terdahulu kepada pemerintah selanjutnya. Artinya hutang dari kebijakan pemerintah sebelumnya akan menjadi beban persoalan ekonomi pemerintahan selanjutnya. Hal ini akan dapat menyebabkan bukan hanya tidak dapat mewujudkan kesejahteraan tapi juga kebijakan yang ‘semerawut’ dikelak hari kemudian. Pasalnya penguasa akan mewujudkan nawacitanya dengan memaksakan hutang Negara dan menganggapnya akan dibayar oleh pemerintahan selanjutnya. Hal ini menjadi hal buruk pada Negara yang demokrasi dengan masa penguasaan maksimum dua priode, dan juga akan mengurangi tingkat kepercayaan public terhadap penguasa selanjutnya yang menanggung beban dari pemerintahan sebelumnya. Dengan dalih pertumbuhan pembangunan pemerintah yang berkuasa akan melakukan kebijakan hutang Negara secara terus menerus, bagaimana tidak nawacita yang paling strategis adalah menambah dan mengembangakan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan, sejauh Ini belum ada penguasa yang memiliki nawacita mengurangi hutang Negara, karena disadari bersama mengurangi hutang Negara berarti tidak melakukan perekabangan pembangunan secara fisik.
Negara modern saat ini tidak mengakui adanya kemajuan jika tidak ada bentuk fisik bangunan, sementara penafian hutang Negara pada sebuah Negara tidak kala penting dibanding dengan pembanguan infratruktur dan sektor lain. Karena dengan mengurangi hutang Negara, berarti Negara akan lebih banyak menggunakan pendapatan Negara untuk sektor pembangunan dari pada membayar hutang. Begitu juga wibawa  sebuah Negara dimata Negara lain, wibawa dan martabat negara bisa diukur dengan hutangnya, sehingga dapat dikatakan, Negara dengan hutang ‘segunung’ image pada Negara lain pun akan menajdi rendah, Hal ini tidak dapat dinafikan. Negera-negara super power dunia bukan hanya memiliki kekuatan militernya saja, malainkan juga kekutan ekonomi dan kesetabilan masyakat dalam semua sisi. Sisi yang utama adalah ekonomi, sebuah Negara yang tidak stabil ekonominya dipastikan tingkat kriminalistasnya meningkat, etos kerjanya berkurang dan juga lebih bersikap radikal dan criminal.
Dapat dibayangkan jika saja keuangan Negara terus mengalami defisit setiap tahunya, Nilai tukar uang rupiah sudah dipastikan melemah, bunga hutang Negara semakin bertambah, harga barang dan jasa juga dipastikan akan naik dan beberapa hal yang tidak diinginkan dalam perekonomian Negara pasti akan dirasakan oleh masyarakat Negara ini. 
Solusi yang paling ampu untuk menyetop hutang negera akan tapi Negara tetap mendapatkan pembiayaan dari hutang non bunga, sehingga Negara mendapat pembiayaan sesuai kebutuhan dan juga melakukan pembanguna secara bersama tidak membayar hutang adalah Negara memilki kebikan pengoptimalan  hutang dana social berupa dana haji, dan pengoptimalan pungutan zakat dan sukuk Negara. Dimana jika disepakati bersama dana haji dapat dipinjamkan sebagai pendanaan pembangunan Negara dan begitu juga zakat, maka akan ada kemungkinan negera akan dapat menekan rendah hutang Negara yang saat ini sudah sangat defisit jika dinding pendapatan negara.
Kebijakan ini (hutang dana social) harus difahami oleh banyak masyarakat yang menolak dana haji sebagai pembiayaan negera dan zakat sebagai pemberdayaan masyakat muslim di Indonesia, sehingga kebijakan tersebut dapat dijalankan dan membantu keuangan Negara, mengurangi beban Negara dan juga dapat menghentikan warisan hutang Negara kepada Negara lain, sehingga Negara akan sedikit demi sedikit akan melepaskan ketergantungan kepada hutang Negara dengan bunga besar.
Pinjaman dana haji, zakat, sukuk Negara, shodaqoh dan wakaf selain minim bunga hutang, dana haji dan pengoptimalan pungutan zakat, shodaqoh dan wakaf juga tidak mempengaruhi naik turunya nilai tukar rupiah sebagai mata uang negara. Hal ini mungkin bisa menjadikan Negara Indonesia menjadi Negara yang tidak memiliki ketergantungan hutang Negara dengan bunga besar. Sehingga pendapatan Negara sebagian besar dapat lebih banyak digunakan untuk pembiyaan pembangunan bukan bayar hutang, dengan itu negera dapat mensejahterahkan rakyat dan penuasa lama tidak membebani penguasa setelahnya, sehingga politik di negara ini dijalankan dengan sehat dan rakyatpun tidak mengalami krisis kepercayaan pada penguasa sesudahnya.

Tamabak, 12 November 2017
Agus Salim

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI HUKUM ISLAM

SEBAIK-BAIK TEMAN ADALA HUKAMA DAN ULAMA

METODOLOGI DAN PENDEKATAN STUDY ISLAM ERA KLASIK DAN MODERN