KEBUTUHAN DAN PILIHAN MENURUT EKONOMI ISLAM



Aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh manusia adalah merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan. Dimana satu individu membutuhkan sesuatu dari individu lain yang juga mebutuhkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya. Diketahui secara jamak, bahwa manusia yang saling membutuhkan antara individu satu dengan individu lain yang kemudian memastikan manusia sebagai makhluk sosial, hal ini karena tidak ada manusia yang hidup tanpa ketergantuangan kebutuhan terhadap orang lain. Seperti seorang yang gemar makan tempe tapi ia tidak dapat membuat tempe, maka kebutuhannya untuk memenuhi kegemarannya tersebut membutuhkan orang lain yang membuat tempe. Pembuat tempe sebagai produsen pun membutuhkan pembeli untuk keberlangsuangan usahanya agar tetap bertahan, jika  pembuat tempe tidak membutuhkan konsumen untuk membeli tentu aktivitas ekonomi tidak akan seimbang.
Permasalahan yang harus kita ketahui adalah, bagaimana kebutuhan menurut ekonomi islam apakah ia sama dengan ekonomi konvensional?. Dimana kita ketahui, bahwa dalam ekonomi konvensiaonal, seseorang dalam pemenuhan kebutuhan pribadinya tidak dibatasi, dalam artian siapa yang membutuhkan dan ia mampu tidak ada batas baginya untuk memenuhi kebutuhannya. Yang sering terjadi adalah pemenuhan kebutuhan yang berlebihan, sementara itu bagi individu yang tidak mampu akan mengalami kekurangan karena ketidak mampuanya dalam memenuhi kebutuhan. Maka menarik kiranya kita mengkaji bagaimana sebenarnya hukum islam mengatur kebutuhan manusia sebagai manusia beragama.
A.      Kebutuhan Dalam Ekonomi Islam
Kebutuhan adalah segala sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk mempertahankan hidup serta untuk meperoleh kesejahteraan. Kebutuhan juga bisa diartikan salah satu aspek psikologis yang mnggerakan makhluk hidup dalam aktivitas-aktivitasnya dan menjadi dasar alasan berusaha.[1] Secara umum yang dimaksud dengan kebutuhan adalah suatu keinginan manusia untuk memperoleh barang dan jasa.[2]  Dengan pengertian lain kebutuhan juga dapat dikatakan sebagai sesuatu yang diperlukan oleh manusia dalam bentuk barang dan jasa untuk mensejahterkan hidupnya.
Menurut Islam semua barang dan jasa yang mempunyai maslahah dikatakan sebagai kebutuhan. Maslahah ialah kepemilikan  atau kekuatan barang/jasa yang mengandung elemen-elemen dasar dan tujuan kehidupan umat manusia di dunia ini dan perolehan pahala untuk kehidupan akhirat.[3] Jadi tidak hanya kebutuhan akan duniawi saja, dalam Islam suatu kebutuhan itu sejalan dengan tujuan hidup untuk memperoleh pahala guna kehidupan di akhirat.
Orang membutuhkan sesuatu karena tanpa sesuatu itu ia merasa ada yang kurang dalam dirinya. Kebutuhan timbul karena adanya kelangkaan akan barang dan jasa.[4] Namun hal tersebut dibantah oleh Al-Ghozali, beliau berpendapat bahwa kebutuhan dan keinginan itu berbeda jauh. Menurut Imam al-Ghazali kebutuhan adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya yaitu menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah dengan beribadah secara maksimal. Karena ibadah kepada Allah adalah wajib, maka berusaha untuk memenuhi kebutuhan agar kewajiban itu terlaksana dengan baik, hukumnya menjadi wajib juga, sebagaimana kaidah yang berlaku.
Menurut Islam kebutuhan senantiasa dikaitkan dengan tujuan utama manusia diciptakan yaitu ibadah. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka Allah menghiasi manusia dengan hawa nafsu (syahwat), dengan adanya hawa nafsu ini maka muncullah keinginan dalam diri manusia.
Dalam ekonomi Islam kebutuhan manusia (Maqshid) terdiri dari tiga jenjang:
a.       Dharuriyat (Primer)
Merupakan kemestian dan landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat yang mencakup pemeliharaan lima unsur pokok, yakni : agama, jiwa, akal, keturunan dan harga. Pengabaian terhadap kelima unsur tersebut akan menimbulkan kerusakan di dunia dan akhirat. Pemeliharaan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan dan harta dapat dilakukan dengan cara memelihara eksistensi kelima unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia dan melindunginya dari berbagai hal yang dapat merusak.[5]
Tujuan yang bersifat dharuri merupakan tujuan utama dalam pembinaan hukum yang mutlak harus dicapai. Oleh karena itu suruhan-suruhan syara’ dalam hal ini bersifat mutlak dan pasti, serta hukum syara’ yang berlatar belakang pemenuhan kebutuhan dharuri adalah “wajib” (menurut ulama jumhur) atau “fhardu” (menurut ulama Hanafiah). Sebaliknya, larangan Allah berkaitan dengan dharuri ini bersifat tegas dan mutlak. Hukum yang ditimbulkannya termasuk haram dzati. Untuk mendukung pencapaian dari tujuan dharuri ini, syara’ menetapkan hukum-hukum pelengkap yang terurai dalam kitab-kitab fiqih.[6]
b.       Hajiyyat (Sekunder)
Maksudnya untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia. Apabila kebutuhan tersebut tidak terwujudkan, tidak akan mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Pada dasarnya jenjang hajiyat ini merupakan pelengkap yang mengokohkan, menguatkan, dan melindungi jenjang dharuriyat. Atau lebih spesifiknya lagi bertujuan untuk memudahkan atau menghilangkan kesulitan manusia di dunia.[7]
c.       Tahsiniyyat (Tersier)
Maksudnya adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok kehidupan manusia. Ia tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai kesulitan, tetapi hanya bertindak sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan manusia.[8]
Dalam Islam, ada kebijakan yang dinamakan politik ekonomi Islam. Politik ekonomi Islam adalah jaminan tercapainya pemenuhan semua kebutuhan primer(basic needs) tiap orang secara menyeluruh, berikut kemungkinan tiap orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kesanggupannya, sebagai individu yang hidup dalam sebuah masyarakat yang memiliki gaya hidup (life style) tertentu. Islam memandang tiap orang secara pribadi, bukan secara kolektif sebagai komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Pertama kali, Islam memandang tiap orang sebagai manusia yang harus dipenuhi semua kebutuhan primernya secara menyeluruh. Baru, berikutnya, Islam memandangnya dengan kapasitas pribadinya untuk memenuhi kebutuhan-kebuthan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemampuannya.
B.       Perbedaan Maslahah dan Utilitas
Dalam teori ekonomi konvensional, utilitas dijelaskan sebagai upaya menguasai atau memiliki barang maupun jasa guna memuaskan keinginan manusia. Kepuasan ditentukan secara subjektif, tiap individu mencapai kepuasannya menurut ukuran dan kriterianya masing-masing. Semua aktivitas ekonomi, baik itu proses produksi maupun konsumsi, didasari pada semangat utilitas.
Dalam ekonomi Islam hanya barang dan jasa yang dapat mengembangkan dan menopang maslahah sajalah yang dapat dikategorikan barang dan jasa yang mengandung maslahah. Oleh karenanya, dari sudut pandang agama, seorang individu muslim didorong untuk memperoleh atau memproduksi barang/jasa yang mengadung kemaslahatan. Barang/jasa dapat diukur tingkat kemaslahatannya relatif pada kemampuan barang/jasa tersebut untuk mengembangkan maslahah.
Adapun perbedaan antara maslahah dan utilitas adalah sebagai berikut :
a. Konsep maslahah dikoneksikan dengan kebutuhan (need), sedangkan kepuasan (utility) dikoneksikan dengan keinginan (want).
b. Utilitas atau kepuasan bersifat individualis, maslahah tidak hanya bisa dirasakan oleh individu tetapi bisa dirasakan pula oleh orang lain atau sekelompok masyarakat.
c. Maslahah relatif lebih obyektif karena didasarkan pada pertimbangan yang obyektif (kriteria tentang halal atau baik) sehingga suatu benda ekonomi dapat diputuskan apakah memiliki maslahah atau tidak. Sementara utilitas mendasarkan pada kriteria yang lebih subyektif, karenanya dapat berbeda antara individu satu dengan lainnya.
d. Maslahah individu relatif konsisten dengan maslahah sosial. Sebaliknya, utilitas individu sering berseberangan dengan utilitas sosial.
e. Jika maslahah dijadikan tujuan dari seluruh pelaku ekonomi (konsumen, produsen, dan distributor), maka semua aktivitas ekonomi masyarakat baik konsumsi, produksi, dan distribusi akan mencapai tujuan yang sama, yaitu kesejahteraan. Hal ini berbeda dengan utilitas dalam ekonomi monvensional, konsumen mengukurnya dari kepuasan yang diperoleh konsumen dan keuntungan yang maksimal bagi produsen dan distributor, sehingga berbeda tujuan yang akan dicapainya.
f. Dalam konteks perilaku konsumen, utilitas diartikan sebagai konsep kepuasan konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa, sedangkan maslahah diartikan sebagai konsep pemetaan perilaku konsumen berdasarkan asas kebutuhan dan prioritas.[9]
Bagi pakar ekonomi Islam, maslahah merupakan suatu konsep yang lebih obyektif daripada konsep utilitas untuk menganalisis perilaku ekonomi. Secara analitik, konsep maslahah dapat lebih dengan mudah di manipulasi daripada konsep utilitas. Walaupun akan tetap menjadi konsep subyektif seperti utilitas, namun subyektivitas itu tidak menjadikan maslahah tidak jelas (samar-samar) seperti utilitas.

C.      Konsep Pilihan Dalam Ekonomi Islam
Dalam ekonomi konvensional, pada dasarnya satu jenis benda ekonomi merupakan substitusi sempurna bagi benda ekonomi lainnya sepanjang memberikan utulitas yang sama. Akibatnya, anggaran akan dialokasikan untuk mengkonsumsi benda-benda apa saja sepanjang utilitasnya maksimum. Hal ini disebabkan karena tidak ada benda lain yang lebih berharga dari pada benda ekonomi lainnya, yang membedakan adalah tingkat kepuasan yang diperoleh akibat mengkonsumsi benda tersebut. Karenanya, benda yang memberikan utilitas lebih tinggi akan menjadi lebih berharga dibandingkan yang memberikan utilitas lebih rendah.
Ekonomi islam berpandangan bahwa antara benda yang satu dengan benda yang lainnya bukan merupakan subtitusi sempurna. Terdapat benda-benda ekonomi yang lebih berharga dan bernilai sehingga benda-benda tersebut akan diutamakan dibandingkan pilihan konsumsi lainnya. Disamping itu, terdapat prioritas dalam pemenuhan kebutuhan berdasarkan tingkat kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menunjang kehidupan yang islami.[10]
Adapun prefernsi konsumsi dan pemenuhan kebutuhan manusia memiliki pola sebagai berikut.
1.      Mengutamakan akhirat dari pada dunia.
Pada tataran paling dasar, seorang konsumen muslim akan dihadapkan pada pilihan antara mengkonsumsi benda ekonomi yang bersifat duniawi belaka (wordly consumption), dan benda yang bersifat ibadah (ibadah consumption). Konsumsi untuk ibadah bernilai lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi untuk duniawi sehingga keduanya bukan merupakan subtitusi sempurna. Konsumsi untuk ibadah lebih memiliki nilai lebih tinggi dari pada konsumsi untuk duniawi dikarenakan orientasinya adalah mencapai falah sehingga lebih berorientasi kepada kehidupan akhirat kelak. Oleh karena itu, konsumsi untuk ibadah pada hakikatnya adalah konsumsi untuk masa depan, sedangkan konsumsi duniawi adalah konsumsi untuk masa sekarang. Semakin besar konsumsi untuk ibadah, semakin tinggi falah yang dicapai. Demikian sebaliknya, semakin besar konsumsi untuk duniawi, maka semakin rendah falah yang dicapainya.
2.      Konsisten dalam prioritas pemenuhan kebutuhan.
Kebutuhan manusia dalam konsumsi memiliki tingkat urgensi yang tidak selalu sama, tetapi terdapat prioritas-prioritas di antara satu dengan lainnya yang menunjukkan tingkat kemanfaatan dalam pemenuhannya. Asy-syatibi membagi prioritas kemaslahatan tersebut pada tiga tingkatan, yakni  maslahah dharuriyyah, maslahah hajiyyah, dan maslahah tahsiniyyah.
3.      Memperhatikan etika dan norma.
Syari’ah islam memiliki seperangkat etika dan norma dalam konsumsi islami yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Beberapa etika ini antara lain keadilan, kebersihan, kesederhanaan, halalan tayyiban, dan keseimbangan.[11]
Nila
Melihat paparan di atas, kita tahu bahwa pilihan memproduksi  mengkonsumsi untuk kebutuhan manusia ekonom dalam pandangan islam syarat dengan kemaslahatan dan kemanfataan,  artinya produsen dalam ekonomi islam diharuskan memproduksi produk-produk yang bermanfaat dan maslahat, sehingga ia tidak merugikan konsumen. Begitu juga konsumen juga harus memilih produk-produk yang bermanfaat juga maslahat, sehingga ia tidak merugikan diri sendiri atau orang lain. Rugi atau untung disini tentu tidak hanya di pandang dari segi kerugian materil namun juga kerugian fisik dan juga kerugian sebagai manusia beragama dan bertuhan.
Sebagai contoh, dalam ekonomi islam syarat dari barang yang dijualkan harus sesuatu yang bermanfaat, tidak najis, kepemilikan sempurna (bukan milik orang lain), dalam hal ini baik produsen atau konsumen tidak diperkenankan menjual belikan khamer karena khamer selain haram menurut pandangan agama ia juga dapat merusak kesehatan peminumnya. Begitu juga diharamkan menjual belikan barang yang bukan miliknya sendiri, hal ini karena akan merugikan orang yang memiliki hak terhadap barang tersebut.

D.      Penutup .
Dalam ekonomi Islam kebutuhan adalah barang dan jasa yang memiliki kemaslahatan dan kemanfaatan. Ekonomi islam memandang kebutuhan manusia terhadap barang dan jasa harus mengedepankan maslaha dan manfaat tidak boleh hanya mengedepankan untility atau kepuasan saja. Sehingga dalam ekonomi islam, pruduksi dan konsumsi harus maslahat tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal ini didasarkan aktivitas ekonomi dalam ekonomi islam tidak hanya bertujuan untuk kesejahteraan atau pemenuhan kebutuhan tapi juga bertujuan beribadah, sebagaimana fungsi manusia diciptakan oleh Allah untuk Ibadah.
Begitu juga dalam pilihan produksi dan konsumsi, para produsen dan konsumen harus juga mengedepankan manfaat bukan kepuasan saja. Mereka harus memperhatikan etika berekonomi ala ekonomi islam seperti lebih mengedepankan kesejahteraan dari pada dunia, mendahulukan yang lebih dibutuhkan dari pada yang tidak terlalu dibutuhkan dan begitu juga memperhatikan norma dan etika.

DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman A. Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi edisi kedua. (Jakarta: Grafindo Persada, 2004).
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008). 
Anita Rahmawaty, Ekonomi Mikro Islam, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011).
https/id.m.kikipedia.org/wiki/kebutuhan
MuhammadEkonomi Mikro dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: BPFE, 2005), 
NurcahyaningtyasEkonomi Untuk Kelas X SMA. (Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2009).
Sadono Sukirno, Mikroekonomi Teori Pengantar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013),


[1] https/id.m.kikipedia.org/wiki/kebutuhan
[2] Sadono Sukirno, Mikroekonomi Teori Pengantar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hal. 5
[3] MuhammadEkonomi Mikro dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: BPFE, 2005),  hal. 5.
[4] NurcahyaningtyasEkonomi Untuk Kelas X SMA. (Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, 2009). hal. 3.
[5]Adiwarman A. Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi edisi kedua. (Jakarta: Grafindo Persada, 2004). hal. 318.
[6] Amir SyarifuddinUshul Fiqh II (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008). hal. 213
[7] Ibid. Adiwarman A. Karim. ..............................hal. 319-320.
[8] Ibid. Hal 322-323.
[9] Anita Rahmawaty, Ekonomi Mikro Islam, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011). hal. 70-71.
[10] Ibid. Anita Rahmawaty,.....................hal. 76
[11] Ibid, Anita Rahmawaty............................. hal. 77-78.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI HUKUM ISLAM

SEBAIK-BAIK TEMAN ADALA HUKAMA DAN ULAMA

METODOLOGI DAN PENDEKATAN STUDY ISLAM ERA KLASIK DAN MODERN