KEJAHATAN ATAS NAMA HAM

AGUS SALIM
Mata dan telinga kita sering kali membaca dan mendengar kasus HAM di media cetak atau elektronik yang terjadi negara ini. Serasa bukan perihal baru suara HAM Itu terdengar dan terbaca. Ironis term HAM sendiri mala 'mengebiri' hukum di negara ini. Indonesia sebagai negara dengan berbeda-beda suku bangsanya, saya kira negara ini mempunyai keraguan dalam bersikap terhadap pelanggar HAM. Ya Bisa dikatakan belum cukup umur untuk mengenal konsep HAM untuk direalisasikan.
Saya kira ketidak jelasan keteria seorang melanggar HAM lah yang mempengaruhi mainset masyarakat indonesia, sehingga kadang mengaburkan kasus-kasus pelanggaran HAM dinegeri ini. Praktis pelanggar HAM Itu sendiri lolos dari hukuman yang semestinya.
Baru-baru ini media mewartakan hukuman mati bagi pengedar narkoba, koruptor dan pembunuh. Kemudian masyarakat senang mendengarnya, namun tidak bagi pejuang HAM. Pejuang HAM menolak hukum mati untuk tiga kejahatan ini, dengan alasan melanggar HAM, sehingga penetapan hukum mati ini pun menjadi perdebatan yang panjang saat ini.
Jujur, saya adalah termasuk orang yang setuju dengan kebijakan hukum mati bagi tiga jenis kejahatan tersebut, tapi saya jugan takut isu hukum mati bagi pengedar narkoba, koruptor dan pembunuh hanya menjadi pengalihan kepanikan masyarakat terhadap kenaikan harga BBM saja, pasalnya keduanya muncul secara bersamaan diwaktu yang sama dan pada pemerintahan yang sama. Sehingga setelah rakyat telah tenang atas kebijakan hukum mati terhadap tiga kejahatan tersebut, pemerintah pun juga urung menerapkan hukum mati tersebut.
Sepengetahuan saya Islam telah membuat dasar-dasar berkehidupan manusia untuk menjaga hak-haknya, baik sebagi pengikut agamanya atau sebagai warga negara. Dasar-dasar kehidupan itu meliputi hifdhun nafes (menjaga jiwa), hifdhul mal ( menjaga harta), hifdhun nasel (menjaga keturunan), hifdhu din (menjaga agama) dan terakhir hifdhu aqel (menjaga otak). Kelima dasar kehidupan tersebut bisa kita buat pijakan dalam melihat kejahatan-kejahatan kemanusian. Dalam masalah HAM, sebetulnya sangat simple membatasi kejahatan pelanggar HAM jika ditilik dari lima dasar hidup tersebut.
Walau hukum islam berpatokan terhadap lima dasar tersebut hukum islam tetap menggunakan qisos, rajam dan jilid ,sehingga pertanyaan seperti apakah hukum islam tidak menelan kaidah-kaidah (lima kaidaj) hukum kehidupanya sendiri, jika menerapkan hukum qisos bagi pembunuh dan penculik, rajam bagi pezinah dan jilid bagi pengkonsumsi miras?, dan apakah penegak hukum syariat islam sudah 'mendahului' hukuman tuhan besok di neraka? Dimana pertanyaan ini saya ambil dari sebuah diskusi, mereka (salah satu aktifis HAM) mengatakan " hukuman mati pada pembunuh, pengonsumsi narkoba dan koruptor itu mendahului hukuman tuhan". Saya kira tidak, Allah SWT menjelaskan hikmah qisos dalam surah al baqorah 179 . "Walakum fil qishosi hayatun ya ulil albab la'alakum tattaqun" (Dan bagi kalian dalam qisos itu ada jaminan kelangsungan hidup hai orang yang berakal supaya kalian bertakwa). Dalam surah ini jelas Allah SWT sebagai tuhan menyuruh kita menerapkan hukum qisos dan mejelaskan hikmahnya.
Bagaimana Jika jaminan kelangsungan hidup itu tidak didapat ketika dijalankannya qisos, apakah hilang juga anjuran hukum qisos itu? Saya kira begini, setidaknya jika hukuman mati pada pengedar narkoba, pembunuh dan koruptor diterapkan, maka hukum di indonesia mempunyai keuntungan, dan keuntunganya adalah rasa keadilan yang dirasakan masyarakat banyak. jika pengedar narkoba dihukum mati, maka masyarakat tidak cemas terhadap anak-anaknya. jika pembunuh dihukum mati, maka rasa keadilan yang dirasakan keluarga korban pembunuhan semakin puas, sehingga tidak menimbulkan balas denda yang menyebabkan kematian berantai, dan jika koruptor yang merugikan dan mengambil uang negara dihukum mati, saya kira masyarakat meraskan keadilan, minimal masyarakat bisa membedakakan si pencopet ubi, pencopet kayu bakar untuk masak dengan pencopet uang negara yang besar jumlahnya.
Terlepas dari Negara lain yang sudah menerapkan hukum mati bagi ketiga kejahatan ini tidak mengalami penurunan jumlah kejahatan. Saya kira hukuman mati untuk ketiga kejahatan ini sangat bisa diterima mayoritas lapisan masyarakat di negeri ini, jika betul diterima mayoritas masyarakat, saya kira ini keadilan yang dengannya tidak ada jargon "hukum di indonesia tumpul ke atas tajam ke bawah", karena setelah hukum mati untuk ketiga kejahatan ini di tetapkan, masyarakat kita sudah bisa merasakan perbedaan hukum berat pada tindak pidana berat dan hukum ringan pada tindak pidana ringan.
Namun perlu juga dipersiapkan penegak hukum yang adil, mulai dari penyidik sampai pemutus harus bekerja di atas keadilan, bukan karna uang, bukan karna jabatan atau karena keluarga, melainkan karena keadilan. Dan hemat saya penegak hukum yang adil adalah jika mereka mempunyai ilmu yang mumpuni, intregritas sebagai tangan tuhan dan memutus atas dasar konstutional bukan hawa nafsu.
Terakhir saya menulis ini bukan untuk kepentingan agama saya agar pembaca kagum dengan agama saya, melainkan saya menulis tulisan ini karena ingin mencoba mengkomperasikan dasar-dasar HAM dengan maqosidus syar'i yang saya ketahui. Saya mengira maqosidus syar'i tak jauh beda dengan tujuan hukum di indonesia, walau hukum di indonesia masih mengekor ke hukum yang diajarkan kolonial belanda. Besar harapan saya kepada aktivis HAM baik secara organisasi atau individu untuk memahami lagi sosiologi hukum yang ada dan juga filsafat hukumnya. Karena saya kawatir jargon HAM yang anda sering suarakan malah membuat kacau hukum di negeri yang kita cintai ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI HUKUM ISLAM

SEBAIK-BAIK TEMAN ADALA HUKAMA DAN ULAMA

METODOLOGI DAN PENDEKATAN STUDY ISLAM ERA KLASIK DAN MODERN