POLITIK PENCITRAAN
Agus Salim
Pertontonan politik oleh penguasa era ini
memunculkan corak baru politik indonesia yang semenjak orde baru dikuasai oleh
penguasa yang otoriter. Pada masa orde baru sebagaimana kita ketahui bahwa
penguasa membatasi ihwal-ihwal politik dengan melegalisir tiga partai politik
saja yang dapat mengiikuti pemilihan umum. Pada masa orde baru tidak semua
orang bisa menyuarakan pendapat apalagi konfrontatif, hal ini karena semua
kendali dihendel penguasa secara penuh. Gesekan antar rekan politik jarang
diketemui. Anggota DPR tidak perlu menunjuk-nunjuk ketua DPR karena tidak puas
atas kepemimpinannya saat sidang paripurna. Angota DPR juga tidak usa memijat-mijat
punggung ketua DPR, apalagi melakukan walkoaut saat sidang paripurna.
Pertanyaanya adalah apakah dengan demikian
orde baru lebih buruk dibanding era reformasi pasca orde baru?. Kita masih
ingat betapa sulitnya meruntuhkan orde baru sehingga sejarah mencatat orde baru
menguasai negara ini selama tiga puluh dua tahun lamanya. Ironisnya pemerintahan
yang banyak orang mengatakan tidak enak itu justru berbalik menjadi enak
dibanding era ini. Walaupun di masa orde
baru penguasa terkesan otoriter namun negeri ini masih dalam status suasembada
pangan. Terlepas dari awal krisis moneter pada masa orede baru yang menyebabkan
runtuhnya masa orde baru itu sendiri. Orde baru mampu membuat negara Indonesia
menjadi sedikit perkasa di Asia bahkan dunia.
Kedewasaan insan politik yang semakin hari
semakin tidak jelas arah politiknya adalah satu diantara ribuan penyebab
timbulnya corak baru perpolitikan di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, bermacam
upaya agar dapat menarik simpatik pendukung untuk memenangkan pemilihan umum
pun dilakukan. Insan politik Indonesia sudah sangat sadar bahwa metode ngubar
janji manis saat kampanye pada rakyat sudah sangat tidak optimal, rakyat tahu
janji mereka itu bohong. Strategi baru adalah mempertontonkan keteladanan sebagaimana
yang diajarkan Nabi dan para pemimpin Islam yang banyak orang kagumi, strategi
inilah yang era ini menjadi trend. Dengan demikian para calon melakukan hal
yang tidak biasa pemimpin lakukan pada masa-masa sebelumnya agar bisa dikatakan
merakyat atau pun berbaur dengan rakyat. Tak sedikit kader partai yang sudah
mendapat kekuasaan tak sepemikiran dengan ideologi partainya, padahal dia
dibesarkan dan diusung partai tersebut untuk jadi legeslatif atau eksekutif.
Saya memandang gelik penomena ini,
pasalnya di era yang suda seperti ini jeleknya kok masih ada pemimpin yang
berbudi luhur dan merakyat. Naik ojek atau naik kijang inova atau menggunakan
jas harga dua puluh lima ribu dari pasar lowak saat di lantik bukanlah tuntutan
rakyat. Tuntutan rakyat adalah kesejahteraan, kenyamanan dan kesatuan. Karena
tugas pemimpin yang lebih utama adalah mensejahterakan rakyatnya. Adapun
prilaku blusuakan dan mengetahui kondisi rakyat itu sudah menjadi kewajiban seorang pemimpin “saidukum
khodimukum” pemimpinmu itu buruhmu. Tapi sekali lagi kalo hanya dilihat
saja tanpa ada perubahan, maka menjadi tiada arti.
Poin yang sangat urgen dalam kepemimpinan
adalah mensejahterakan rakyat, rakayat bisa hidup nyaman, kebutuhan pokok
murah, rakyat mampu menciptakan pekerjaan tanpa mencari pekerjaan dan hutang
negara tak bertambah setiap harinya. Jika hanya melakukan pencitraan saja, jika
hanya bisa blusukan sama saja masih
membohongi rakyat.
Komentar
Posting Komentar