SEPASANG MATA GURUKU
Aku terlahir dari keluarga yang ekonominya menengah kebawa. Ibuku
meninggal saat aku berumur sembilan tahun. Sayang, seharusnya ibu tidak
meninggalkan aku pada saat itu, namun takdir berkata lain. Kaki ibu membengkak.
Bengkaknya kaki ibu membuat sulitnya berjalan, sembilan tahun sebelum ibu
meninggal kaki ibu tertusuk duri saat membersihkan kebun salak milik kami yang
tak jauh dari rumah kami, sehingga menurut dokter terjadi titanus yang
menyebabkan pembengkakan. Setidaknya aku bersukur, karena sepeninggal ibu ada
seorang ayah disampingku.
Teringat kasih sayang ibu yang begitu tulus kepadaku dan adiku.
Saat masi berada di bangku taman kanak-kanak, ibu selalu setia mengantarku ke
sekolah yang mungkin berjarak dua ratus meter dari rumah kami. Saat aku dikelas
kulihat paras ibu yang sedang duduk di bawah pohon beringin didepan ruang
kelasku. Dia menunggu aku hingga bunyi bel pulang terdengar. Ibu juga sering
bercerita dibawah pohon itu saat istrahat kami, sambil menyuap puluan nasi
ibu bercerita tentang pengalamanya semasa sekolah dulu, aku tidak dapat
menceritakan ulang cerita ibu secara utuh, namun masi kuingat beberapa penggal
cerita ibu saat itu.
“ibu dulu ketika sekolah tidak sepintar kamu sekarang dul, tapi ibu
mau belajar saat pulang sekolah dan malam hari” cerita ibu padaku.
“aku juga tidak pintar seprti ibu, dan juga mau belajar setelah
pulang sekolah dan pada malam hari”, ingin seperti ibu itulah yang kurasakan
pada saat itu, ibupun tersenyum mendengar kalimat itu seraya mengiyakan.
Keesokan harinya ganti aku yang memulai cerita saat ibu membukan
tasnya untuk mengambil sebotol air dan sekotak ansi yang sengaja dibawahnya aku
memulai cerita, kini pengalamanku saat disekolah
“ibu tadi dikelas aku dipukul oleh buguru pake penggaris lihat ini
bu” ku tujukan bekas memar di pupu kananku.
“memang kamu salah apa” tanya ibu curiga.
“pertama aku mengambil pinsil kawanku untu ku pakai, namun karena tanpa seizinya aku diplototin oleh ibu
itu sambil marah-marah, lalu aku disuruh pindah tempat duduk, aku tidak mau, dan
ibu itu marah-marah lagi lalu ku ambil pena yang ada di saku baju ibu itu, lalu
ibu itu memukulku dua kali dengan penggaris” tandasku kesal.
Ibu saat itu diam sambil membuka kotak nasi yang diambilnya dari
tasny tadi. Saat itu aku berharap ibu akan marah pada guru yang memukulku.
Setelah di memberikan suapan pertama padaku ibu merespon ceritaku.
“kan kamu yang salah, besok jangan diulangi lagi” jawab ibu
singkat.
Saat pula aku berfikir bahwa ibu tak sayang lagi padaku, apa
gunanya setia menunggu setiap hari depan kelasku jika saja anaknya dipukul
malah menyalahkan aku.
***
Tiga tahun kemudian ayah menyusul ibu meninggal dunia. Berbeda
dengan ibu, ayah meninngal karena kecalakaan ditempat ayah bekerja. Setumpuk
kayu runtuh menimpah ayah dan beberapa rekan kerjanya. Begitu terpukul saat aku
mendengar ayah meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Tinggallah aku bersama adik laki-lakiku yang sekarang masih duduk
di sekolah menengah Pertama. Adiku tujuh tahun lebih mudah dariku. Ayah begitu
menyayanginya, kata ayah adiku mempunya
paras yang hampir sama dengan kake. Tapi menurutku bukan itu sebabnya ayah
menyayangi adiku melebihi aku. Menurutku
ayah seharusnya menggantikan posisi ibu yang dahulu meninggal dunia saat adiku
berumur dua tahun.
Sepulangnya adikku dari sekolah, ayah telah menyiapkan telor mata
sapi yang berbentuk hati di meja makan. Telor goreng mata sapi dengan bentuk
hati yang di lihat ayah di televisi cukup menyita perhatian adiku samasa
kecilnya. Bukan hanya telor goreng mata sapin saja sejak kecil adiku tidak mau
tidur dikamar sendiri atau bersmaku, di lebih suka tidur bersama ayah, demikian
ayah mengelus-elus perutnya untuk mengantarnya dia tidur.
Ayah juga sering berkata “sayangi adikmu, seperti kamu menyayangi
ibu dan ayah”
Suatu ketika aku coba mengantarnya ke sekolah, kebetulan hari itu
tidak mempunyai mata kuliah, sedangkan ayah harus lebih pagi berangkat ke
tempat dia kerja “anatar adikmu ke sekolah, tempat kerja ayah sekarang jauh,
maka ayah harus berangkat lebih pagi” pinta ayah sambil mempesiapkan bekalnya.
Sementara adikku masi tidur dengan mendekap bantal guling dengan corak warna
abu-abu. Kulihat jam masi menunjukan angka lima pagi, tak mungkin aku bangunkan
adiku saat itu. Beberapa detik kemudian, aku menju kearah kamar mandi yang
behadapan dengan ruang makan, tak sengaja mataku melihat telor goreng mata sapi
seperti biasa ayah siapkan untuk sarapan adiku. Begitu juga nampak pula
tumpukan nasi di panci tertutup sangi, ayah biasa menyiapkan sarapan
untuk kami sebelum berangkat kerja, kadang ayah juga mencuci bajuku walau sudah
aku katakan padanya aku saja yang mencuci.
Semburat anak sekolah saat kami sampai dimulut gerbang sekolah
adikku, beberapa anak berlari menuju ke kelas, ada pula yang menangis disandaran
pagar bambu yang menjaga bunga-bunga didalamnya. Nampak juga ongokan guru yang
bersalaman dengan siswa-siswa yang baru datang “ayo.. ayo... jangan lari-lari”
pintanya sambil bersalaman. Adikku menggapai tanganya dan tak kulihat lagi
setelah itu.
Melihat suasana itu aku terbayang wajah ibu, ibu tidak akan pergi
sebelum melihatku memasuki ruang kelas, ibu tetap berdiri sambil membawa
tasnya, terkadang aku mengintip dari balik cendela, apakah ibu telah duduk di
bawah pohon bringin biasa ibu menunggu, jika ibu telah memenggang buku aku tak
lagi mengintip.
Aku bercerita pada adikku tentang masa sekolahku, maka ku ceritakan
guruku. Aku mengagumi guruku yang satu ini, walau banyak teman-temanku tak
menyukainya lantaran kejamnya, tidak jarang bapak itu marah-marah pada kami,
bahkan ada yang pernah terlempar penghapus hingga pelipis matanya bercucur
darah. Adiku mulai tercengan mendengar ceritaku.
“lalu kenapa abang kagum dengan guru itu”
“pak fadil ketika menerangkan runtut, selain runtut kata-katanya
mudah dicerna, beliau juga sering memberi hikmah dalam ceritanya, sehingga
abang tau beliau marah bukan karna amarah tapi karna cinta”
“maksud abang?”
“dia marah bukan karna kami tidak bisa, akan tetapi karena kami
melanggar peraturannya, masi saja aku ingat dia berkata, tancapkan cita-cita
dalam hatimu, dan jangan kau melihat ekonomimu, sehingga kau tahu kesuksesanmu
sudah di matamu”
“guru abang seperti pak Husnan yang beberapa bulan lalu di
perkarakan oleh orang tua siswa yang di tamparnya hingga berdarah”. Potong
adikku. “pak Husnan hampir sama dengan guru abang, beliau pernah mengatakan,
belajar itu punya metode, dan untuk mengabdi jika kau pintar nanti”
Kurasa adikku mempunyai pengalaman yang kebetulan sama, dia merasa
tak semua guru marah itu benci kepada muridnya, tidak semua guru menampar itu
untuk mempermalukan anak didiknya, apalagi melukai. Sepasang mata guru melotot kadang
tidak cukup untuk memperbaiki kenakan anak didiknya, sayang ternyata di balik
kepedulian beliau tidak semua bisa difahami oleh semua orang.
***
Di kamar terasa tidak lagi nyaman, beberapa buku berserakkan di
lantai bersma kertas-kertas yang juga belum kurapikan semalam. Sementara adiku
kulihat duduk menikmati segelas teh yang di buat beberapa menit lalu.
“ayah sudah tidak ada, abang harus mencari pekerjaan yang layak,
kita tidak mungkin hidup tanpa uang, sementara aku harus kuliah beberapa tahun
lagi” celetuk adiku.
Aku tak tahu apa maksud adiku, tanpa dia mengatakan itu, aku pun
sudah berfikir untuk mencari kerja, karena tidak mungkin jika tidak bekerja. Beberapa hari ini aku tidak masuk kuliah,
walau peringatan sudah kuterima.
“aku beberapa hari ini mengajukan lamaran ke beberapa intansi, kamu
harus sabar” imbauku lirih padanya.
“jika samapinya nanti kamu kuliah aku belum mendapat kerja, maka
iklaskan kebun salak itu kita jual” tambahku.
“tidak mungkin kebun salak itu kita jual, itu pusaka, itu warisan
peninggalan orang tua kita”
Hening saat adiku mengatakan itu, Fikiranku mulai memburu otak,
bagaimana aku harus menenangkan adikku, kurasa dia masi rindu pada ayahn yang
baru tujuh hari meninggalkannya. Beberapa hari ini dia tidak mau berangkat
sekolah, sering mengurung diri di kamar. Sesekali membaca yasin ku dengar, tapi
tak jarang dia menangis dibalik bantal yang menutupi wajahnya.
Aku terus berfikir apa sebetulnya yang mendorong adikku mengatakan keharusanku mendapat pekerjaan,
selama ini aku sadari ayahlah yang menghasilkan uang, sementara aku belum
pernah berfikir untuk bekerja, mungkin ketakutan adikku aku tidak akan bekerja
sepeninggal ayah.
Beberapa jurus sudah aku
keluarkan untuk meyakinkanya bahwa aku akan mendapat pekerjaan beberapa hari
lagi, namun tidak juga berhasil. Kulihat lagi linagan air mata berkali-kali dia
hela dari pelupuk matanya, terlihat sedikit basah tangan kirinya menghela
beberapa tetesan air mata yang akan mengakir di pipihnya.
“jika engkau mengatakan akulah penyebab kematian ayah, karena aku
tak mau bekerja saat ayah ada, itu sangat konyol”. Cetusku.
“ayah melarangku untuk bekerja, ayah mengatakan ayah masi mampu”
tambahku liri.
Terdengar isakan dari arah adikku.
“jika kau masi menyalahkanku, maafkan aku, belajarlah untuk
menerima takdir tuhan, aku telah merasakan kedua kalinya”
Pipihnya masi basah, isaknya
masi aku dengar dari balik pintu kamar mandi. Gemricik air dari pipah mengajaku
untuk sekali berfikir, berdoa diantara isak tangisnya dan gemricik air,
berharap kebahagian kedua orang tua dialam sana, sambil meminta kesuksesan dan
kebahagian aku dan adikku. Berkali-kali aku siramkan air di kepalaku, sedikit
demi sedikit mulai kufahami takdir ilahi.
Adiku masi menutup wajahnya yang sayup, mengisak sedari tadi,
kulihat bantal sudah lemabab menutupi wajahnya. Sesekali kutatap foto ayah dan
ibu yang kebetulan menempel didinding ruang itu, terbayang wajah ayah,
terbayang awajah ibu saat menggendong adiku di ruang itu. Semakin kuat inginku
untuk tidak membayangkan ayah dan ibu, semakin kuat mereka ada di ingatanku. Ku
pandangi lagi adiku yang masi menutup wajahnya dengan bantal. Ayah ibu tidak
pernah mengajarkan padaku tentang sedihnya saat itu, ibu hanya menceritakan
kisah-kisahnya di sekolah. Ibu juga tidak pernah memberikan alasan mengapa
tidak melaporkan guruku kepolisi saat aku di pukul dengan Rule, ibu juga tidak
perna menceritakan padaku bagaimana rasa di tinggal orang tua.
***
Malam telah berganti, cahaya
matahari pun sedikit menerobos dari balik cendela kamarku, tak seperti beberapa
hari yang lalu, telor goreng mata sapi tersaji sebagaimana ayah masi ada. Saat
itu aku sedikit terkejut, siapa yang membuatnya, apakah ayah kembali lagi,
karena tangis dan doaku, apakah ayah hidup kembali karena melihat adikku sangat
terpukul ditinggalnya. Ah dalam hidup orang yang sudah mati tidak mungkin hidu
kembali, apalagi ayah telah dikuburkan beberapa hari yang lalu, bahkan hari ini
adalah hari ke empat puluh ayah meninggal. Sebagaiman adat masyarakat
dikampungku, hari keempat puluh diadakan membaca yasin dan tahlil untuk si
mayat. Maka sangat mustahil jika ayah hidup kembali.
Diantara keherananku adiku datang dari balik tubuhku.
“sekarang empat pulu hari ayah meninggal, yasin dan tahlil yang
nanti akan di baca bukan hanya untuk ayah tapi juga untuk ibu” kata adiku
sambil duduk tepat di kursi yang berhadapan dengan telor goreng mata sapi.
“urusan biayah, ayah pernah memberiku uang, tidak banyak tapi
kukira cukup untuk acara seperti ini, sementara uang sisah pelayat yang
disumbangkan saat ayah meninggal masukanlah kedalam amplop, anggap saja itu
shodaqoh ayah dan ibu” himbaunya padaku.
Saat itu aku tidak tahu akan mengatakan apa, adikku seperti memutus
sarafku untuk berfikir dan menjait mulutku sehingga terdiam, namun dia juga
mengalirkan air mataku yang sedari malam terpejam karena kantuk. Aku bersyukur
mempunyai adik sepertinya. Perasaan bangga dan takjub terhadap sikapnya, tidak
salah ayah menyamakannya seperti kake.
Beberapa tamu undangan sudah berada di halaman, paman Sukno beserta
istri dan bi Alisah beserta suami sedari pagi membantu kami. Mereka yang
mengatur perihal acara kami. Tamu undangan mulai masuk ke dalam rumah berukuran
mini milik kami. Seorang tamu yang juga aku kenal namanya pak Subhan
memanggilku. Dia membutuhkan bantuanku untuk mengurus perkara pak Husnan
seorang guru yang di tuntut orang tua siswa disekolah adikku. Pak subhan adalah
seorang guru yang kebetulan ketua dari ikatan guru di kecamatanku.
Perkara Pak Subhan tidaklah layak untuk di biarkan, jika dibirkan
menurutnya akan merusak profesi guru dan kesakralan guru dimata murid-muridnya.
“posisi pak Husnan itu benar, bukan salah, melototin murid itu
benar kalau mereka melanggar, apalagi murid
melawan guru, ya sewajarnya di tamapar” kata pak Subhan.
Kisah ibu di masa sekolahnya, pengalamanku tentang tanggapan ibu
saat aku dipukul oleh guru, ibu tidak pernah salahkan guru yang memukulku akan
tetapi menyalahkanku, saat itu aku tertarik untuk bergabung dengan pak Subhan.
Masa kuliah yang hanya beberapa bulan lagi memberiku pelajaran yang
sangat berarti untuk membantu pak Subhan, dan tidak jarang aku berdiskusi
dengan para advokad untuk mengetahui bagaimana cara pembelaan terhadap klayen. Itu
sebabnya pak Subhan mengangkatku menjadi guru di sekolah yang dikelolahnya. Dan
aku berharap ayah dan ibu mengajariku saat aku meliahat plototan sepasang mata
guru, dan marahnya ibu padaku saat aku dipukul guruku, sehingga akupun tahu
rasa sayangmu.
Oleh Agus Salim
Tamabak,
24/05/2014
Komentar
Posting Komentar