WARUNG NASI MAK IJAH

Agus Salim
Siang itu sesak pemebeli terlihat di warung Mak Ijah, Mak Ijah adalah penjual nasi di desa Pangkalan yang sebagian besar penduduknya adalah pekerja kebun kelapa sawit di desa itu. Saat pekerja kebun itu istirahat siang, warung Mak Ijah dan beberapa warung di sekitarnya diserbu pekerja untuk Makan siang atau sekedar minum teh manis. Kadang Mak Ijah kuwalahan melayani begitu banyaknya pembeli, sering Mak Ijah mengeluh kelelahan kepada pembeli namun pembeli sering mengatakan masakan Mak Ijah sangat enak.
Masakan Mak Ijah terasa enak di lidah para buru kebun itu, Maklum Mak Ijah sudah menekuni profesi ini sejak masa gadisnya. Mak Ijah adalah anak pertama dari Sembilan bersaudara, dia berjanji akan menanggung sekolah adik-adiknya sepeninggal ayahnya saat Mak Ijah berumur enam belas tahun. Ayah Mak Ijah sendiri meninggal tertimpah janjangan kelapa sawit saat mendodos di perkebunan itu. Tanggung jawab untuk memikul beban adiknya ini pula yang menyebabkan Mak Ijah tak mau kawin hingga akhirnya Mak Ijah tidak mempunyai seorang anak.
***
Adzan subuh belum terdengar, terlihat jarum jam masih menunjukan jam dua pagi. Pagi itu seperti biasa Mak Ijah berangkat ke pasar. Mak Ijah belanja ke pasar yang tak jauh dari rumahnya. Nampak tangannya yang tak lagi mampu membawa beban sebanyak seperti masa gadisnya dulu, hingga akhirnya dia meminta Jalal mengantar dan menjemputnya dari pasar pagi itu.
Jalal adalah suami keponakannya yang bernama Mashithoh. Jalal menikahi Mashitho dua bulan lalu, mereka saling mengenal saat keduanya menjadi kariawan sebuah pabrik sabun ternama. Jalal yang selalu mengantar Mak Ijah ke pasar setiap paginya selama ini. Sementara Mashitho istri Jalal membantu di dapur untuk memasak sayur-sayur yang telah dibeli Mak Ijah kemarin.
Dua bulan ini Mak Ijah merasa ringan hidupnya karena Mashitho dan suaminya tinggal di rumah Mak Ijah. Mashitho adalah keponakan Mak Ijah dari adik kedua Mak Ijah. Ketika Mashitho kecil Mak Ijah pernah meminta orang tua Mashithoh agar masithoh menjadi Anak angkat Mak Ijah, Namun hal itu urung dilakukan karena Mashithoh kecil tidak dapat jauh dari orang tuanya. Pernah beberapa kali Mashitoh dibawah Mak Iajah kerumahnya, belum genap dua hari Mashithoh demam, hal ini yang mungkin mengurungkan Mak Ijah tidak mengangkat Mashithoh kecil menjadi anaknya.
Mak ijah juga tak takut lagi saat malam telah tiba. Beberapa bulan yang lalu puluhan juta uang tabungannya di rampok tiga orang laki-laki yang masuk kerumahnya saat dia tidur. Tiga orang lelaki itu masuk lewat pintu dapur membobol lemari penyimpanan uang di rumah Mak Ijah.  Kejadian ini menyebabkan Mak Iajah tidak berani untuk tidur di rumah beberapa hari hingga akhirnya Mashithoh dipintanya untuk tinggal bersamanya.  Sukur Mashithoh pun mengiyakan permintaan Mak Ijah, sekalipun berat meninggalkan rumah peninggalan orang tuanya, mungkin karena hanya  Mak ijahlah satu-stunya kerabat Mashithoh yang dekat dengannya.
Bagi Mak Ijah apapun yang telah didapatnya semasa hidupnya adalah akan diberikan Mashithoh seluruhnya, sebab selama ini Mashithoh yang telah meringankan hidup di masa tuanya. Bahkan Mak Ijah sering mengatakan hal tersebut pada Mashithoh saat memasak atau saat duduk bersama.
“Aku harap kau masih mau tinggal bersaMaku sampai akhir hidupku” pintah Mak Ijah kepada Mashithoh.
Pertama kali mendengar kata-kata Mak Ijah itu Mashithoh kadang-kadang meneteskan air mata, sebab suaminya juga mengharapkan agar mereka berdua tinggal bersama orang tuanya yang juga sangat tua. Karena suaminya juga pernah mendengar langsung permintaan itu, suami Mashithoh pun mengiyahkan.
***
Setahun sudah pernikahan Mashitho dengan Jalal, mereka pun dikarunia seorang anak. Sementara Mak ijah tak lagi dapat menjajakan dagangannya karena sudah sangat rentah, Mak ijah meminta Mashitoh untuk meneruskan usahanya tersebut. Tidak mungkin Mak Ijah meMaksakan tenaganya untuk berdagang terus. Pandangan mata Mak ijah saja sekarang sudah rabun dan harus mengenakan kaca mata.
Tak jarang Mak Ijah ngomel-ngomel jika saja ada sesuatu yang tidak pas dihatinya. Itu sebabnya Jalal pun tak lagi seperti dulu yang selalu membungkuk didepan Mak Ijah jika Jalal berpaprasan Mak ijah. Begitu juga tutur kata Jalal kepada Mak Ijah semakin kasar, Mashithoh pernah meminta kepada Jalal agar Jalal berkata sopan kepada Mak Ijah.
“Dia sudah tua, aku fikir wajar dia seperti ini Bang” kata Mashitoh kepada jalal
“kau tengokla, pekerjaanku selalu pas dimatanya”
Saat itu Mak Ijah memesan kepada jalal untuk membeli cabai kecil di pasar, sepulangnya Jalal dari pasar, Jalal membeli cabai terlalu banyak, sehingga Mak Ijah mengomeli Jalal pagi itu. Jalal yang kesal pun membanting cabai itu hingga berhamburan di pelatan warung Mak Ijah. Sambil berkaca-kaca mata Mashitoh memunguti cabai yang di buang Jalal. Dari kejadian itu Jalal memeutuskan untuk kembali kerumah orang tuanya.
Sekarang tinggalah Mak Ijah bersama Mashitho dan ankanya di rumah Mak Ijah yang juga sebagai warung. Mashithoh tidak mungkin meninggalkan mak ijah dan pergi bersama Jalal. Mashitoh telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak meninggalkan Mak Ijah dalam keadaan apapun. Mashithoh tahu sangat penting menjaga rumah tangganya dengan Jalal, tapi bagaimana dengan Mak Ijah yang sudah sangat dimakan usia. Pertimbangan ini yang menyebabkan mashithoh tidak mau meninggalkan Mak Ijah. Apalagi Mak Ijah adalah kakak dari ibu Mashithoh.
***
Sore itu Mak Ijah duduk sendiri di depan rumahnya sambil mengamati lalu lalang buruh kebun yanga mulai membuyar pulang. Sambil sesekali Mak Ijah mengoyang-goyangkan kakinya di atas kursi yang terbuat dari bambu. Sapah buruh kebun kelapa sawit saat melewati depan rumahnya pun namapak bergulir. Mak Ijah sudah terbiasa menghabiskan waktu sore dengan duduk di depan rumah, Dengan meminum secangkir teh manis dan membakar sampah daun pohon mangga yang kebetulan bercokol di depan rumahnya.
Mak Ijah mulai merasakan ketiadaan Jalal di rumahnya, Mak Ijah mungkin lupa apa penyebab Jalal pergi dari rumahnya.
“kemana suamimu, sudah beberapa hari ini Mak tidak melihatnya?” tanya Mak Ijah kepada Mashithoh yang kemudian duduk bersamanya.
“Jalal pulang mak ke rumah orang tuanya”
“kenapa dia, orang tuanya kambuh lagi, masuk rumah sakit lagi?”
Mashithoh diam sambil menatap kearah kosong.
“tidak mak” jawab Mashithoh kemudian.
“aku sudah sangat tua, kau tau sendiri aku sudah tidak bisa apa-apa lagi bahkan untuk belanja sendiri” gumam Mak Ijah sesaat sambil menatap ke arah Mashithoh yang mengisak-isak.
“aku tida akan lama lagi hiup, jadi bersabarlah hidup denganku” tambah Mak Ijah lagi.
“jika aku mati nanti, rumah, tanah dan warung nasi ini adalah milikmu, sebab aku tak punya siapa-siapa selain engkau. Ibumu berpesan padaku kau harus hidup di sini, agar kau bisa mendoakannya. Begitu juga aku, siapa lagi yang mau medoakan aku saat aku di alam kubur nanti”
Mashithoh nampak masih mengisak sambil memeluk anaknya saat Mak Ijah menggumam. Entah apa yang ada dalam fikiran Mashithoh saat itu, dia terus mengisak, matanya berlinang dan bibirnya bergetar. Mak Ijah tahu ketulusan hati Mashithoh yang selama ini menjaganya, karena mak Ijah telah mengenal tabiat keponakanya tersebut dari kecil.
Di keheningan itu mak Ijah mengurai sampah yang dibakar di depanya agar apinya tetap menyalah. Mashithoh nampak masih terdiam sambil duduk memandangi Mak Ijah, sepertinya dia bingung dengan keadaanya sekarang, apa lagi Jalal yang tidak kunjung bersamanya tinggal di rumah Mak Ijah. Mashithoh Tahu, tidak mungkin Mashithoh menyalahkan Mak Ijah sebagai penyebab minggatnya Jalal.
***
Hari sudah gelap Mak Ijah tidak lagi berada di lubang sampah untuk mengurai sampah agar terbakar, begitu juga Mashitoh lebih dulu masuk ke dalam rumah sebelum Azan Magrib terdengar. Nenek moyangnya melarang membawah bayi ke luar rumah saat magrib tiba, itu sebabnya Mashithoh masuk rumah terlebih dahulu.
Cahaya lampu bilik dari dalam rumah mak Ijah menjorok keluar melalui fentilasi cendela dan sela-sela papan dinding rumah. Semakin jelas cahaya itu karena malam semakin pekat. Beberapa jam kemudian tak tampak lagi aktivitas di rumah itu, lampu bilik yang ada di dalam rumah sudah nampak padam . Sudah sangat lumrah, sehabis sholat isa rumah-rumah di desa itu mematikan lampu-lampunya, mereka tidur lebih awal mungkin karena kelelahan bekerja seharian.
Mak Ijah malam itu tidak dapat tidur walau pun Mak Ijah sudah masuk kedalam kamarnya. Mak Ijah telah merebahkan badanya di kasur peyot yang dibelinya sepuluh tahun lalu dari seorang penjual kasur keliling. Di desa itu sering masuk penjual keliling, kadang penjual itu menjajahkan kasur, kadang juga baju, sandal serta alat perabot rumah tangga. Mak Ijah saat itu membeli kasur dan baju karena saat itu sudah mendekati lebaran, setelah itu Mak Ijah tidak pernah lagi membeli apa-apa dari penjual keliling, entah kenapa.
Detakan jarum jam semakin jelas ditelinga mak ijah walau ringikan jangkrik bersaut-sautan di lura rumahnya. Mak Ijah masih belum bisa memejamkan matanya, dia ingat telah menulis sebuah surat wasiat yang disimpanya di bawah bantal dia tidur. Sekelibat surat itu hilang dari fikran Mak Ijah yang telah rebah di atas bantalnya, Mata mak Ijah berkedip-kedip melihat keatap rumahnya yang kosong.
“Ajalku sudah sangat dekat, aku sudah sangat tua, mudah-mudahan Jalal mau kembali kepada mashithoh” mak ijah menggumam dalam hatinya.
Sekelebat kemudian Mak Ijah mulai mendengar suara langkahan kaki dari luar rumahnya menuju ke arah belakang, mata Mak Ijah Pun semakin mbelalak terbuka. Ada perasaan tidak enak di dalam hatinya, namun Mak Ijah masih tetap di atas kasurnya sambil menduga-duga itu langkah siapa. Mak Iajah muai mengangkat tubuhnya dan duduk di atas kasurnya sambil mengamati suara pijakan kaki dilantai rumahnya, arah itu mendekat kekamar mak ijah, mak ijah berdiri dan menggapai pintu kamarnya, Namapak dua orang lelaki telah berdiri didepanya. 
Kejadian itu sangat cepat, Mak Ijah menghindari sabetan samurai yang dibawah dua orang lelaki itu. Mak Ijah pun mulai sadar bahwa mereka akan merampoknya, mengambil dan menjarah uang sipananya seperti beberapa bulan lalu.
“tolong….tolong…..tolong” teriak Mak Ijah setelah terlepas dari sabetan samurai salah satu perampok itu.
Mak Ijah menutup kembali pintunya, namun tak terduga Mashithoh keluar dari kamarnya saat mendengar teriakan Mak Ijah, Mashitoh tertebas samurai perampok itu. Mak Ijah medengar suara sabetan, mak Ijah pun keluar dari kamarnya dan dua perampok itu lari ke arah dapur. Mak Ijah memastikan  apakah benar Mashithoh tersabet samurai dari kawanan perempok itu, mak Ijah memajukan langkah mencari jasad Mashitoh, matanya yang tak setajam masa mudahnya itu tak dapat melihat jelas dimana jasad Mashitoh, dia mencoba merayap sambil terisak memanggil nama Mashitho.
“Mashitoh ! dimana kamu nak, Mashithoh……..”
Mashithoh yang mendengar jeritan dari kamar Mak Ijah terperanjat menujuh kamar Mak Ijah.
“mak  Bangun mak…… mak bangun mak…… ada apa mak” kata mashithoh sambil memegang pundak mak Ijah yang engah-engah nafasnya.
“astaghfirulah………Kau masih hidup Shithoh” mak Ijah memandang Mashitoh.
“aku bermimpi, perampok itu datang lagi Shithoh, aku melihat kau terbunuh” tambah mak Ijah dengan nafas yang tersendat –sendat.
Mashitoh mengambilkan segelas air minum dari kendi yang ada di meja kamar mak ijah, kemudian meminumkanya.
“emak jangan terlalu banyak fikiran, ketakutan Mak akan membawa mimpi-mimpi ngerih jika banyak fikiran” saut Mashithoh sesaat.
“aku akan tidur bersama Mak” tambahnya sambil berjalan menuju ke kamarnya untuk mengambil bayinya.
Malam itu mak Ijah dan Mashithoh nampak terus bercerita, banyak hal yang perlu mashitoh tahu tentang mak Ijah. Tentang surat wasiat atau cita-cita mak Ijah yang belum tersampaikan, Mak Ijah juga meminta agar Jalal cepat kemabali dan memaafkanya. Tak bagus jika rumah mak Iajah tak ada seorang lelaki di sana, walau kapan Jalal kembali.
Banyuams, 23 Desember 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI HUKUM ISLAM

SEBAIK-BAIK TEMAN ADALA HUKAMA DAN ULAMA

METODOLOGI DAN PENDEKATAN STUDY ISLAM ERA KLASIK DAN MODERN