MEMAKNAI ORIENTASI JIHAD


Oleh Agus Salim
 
Belakangan ini mungkin kita sudah tidak merasa asing lagi dengan gerakan separatis yang mengatas namakan sekte dari agama Islam. Alih-alih memperindah islam, malah karena mereka, islam seperti kehilangan sayap untuk terbang. Mengait hal tersebut bukan tidak mungkin islam hancur ditangan pemeluknya sendiri. Tapi kehancuran Islam tidaklah akan ditemui di kamus atau peta kekuasaan mana pun. Islam tetap akan eksis dengan konsep awal doktrinnya yang disebut dengan rahmatal lil Alaminnya. Doktrin tersebutlah yang sepatutnya menjadi pertimbangan oleh pelbagai kalangan pergerakan dakwa islamiyah di seluruh negara, tidak terkecuali ISIS ataupun Al Qaedah bahkan Gafatar.
Praktis, Islam adalah agama yang menjunjung tinggi makna toleransi atas dan terhadap pemeluk agama lain. Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam. Islam hanya mengajarkan kebenaran, baik dalam berkehidupan bersama atau berkehidupan sebagai mahluk tuhan. Kita tahu dalam keyakinan kita orang Islam, jika saja seluruh mahluk di alam ini menyembah Allah, maka tidak ada pengaruh terhadap derajat keluhuranNya sebagai pencipta. Dan begitu sebaliknya, jika Allah tidak disembah oleh satu mahluk pun, Allah tidak akan turun derajatnya sebagai tuhan semesta alam.
Kendati banyak Qur’an atau Hadist yang menjelaskan seruan jihad, adalah sebuah keharusan bagi kita untuk mengkontekstualisasikan dan juga mengkondisisasikan di mana,  dalam apa dan kapan kita wajib melakukan jihad dengan cara mengangkat senjata. Begitu urgen-nya untuk memperhatikan asbabul nuzul dan asbabul wurud yang mendasari diturunkannya ayat atau diikrarkannya hadist oleh Nabi. Metodologi ini yang sama sekali tidak tersentuh oleh banyak kalangan, khususnya bagi meraka kaum radikalis.
Doktrin Islam telah jelas-jelas memerintahkan pada kita untuk berlaku adil, berlaku damai dan berlaku saling menghargai satu sama lainya. Kecurigaan saya, timbulnya gerakan separatis yang mengatas namakan pembela agama Islam, merupakan kejahatan yang berkedok agama Islam. Pasalnya kita tahu bahwa dakwah Islamiyah yang diajarakan oleh Nabi tidaklah dengan kekerasan, melainkan dengan ahlak mulya. Adapun perang yang sempat terekam oleh sejarah, itu bukanlah dakwah islamiyah, akan tetapi merupakan ‘perlindungan’ terhadap kaum muslim yang pada saat itu terdholimi. Oleh karena itu Nabi meng-iyakan ajakan perang para musuh Islam  demi mengahapus ke-doliman terhadap orang Islam, hal ini dibenarkan dengan historisi yang mengatakan perang di zaman Nabi merupakan perang yang dilakukan secara Opensif, Islam diserang atau diundang untuk perang, bukan defensif, islam menyerang atau begitu saja menjajah. Lalu kenapa Nabi meng-iyakan perang tersebut?, tentu alasannya karena ke-dholiman yang dilakukan oleh kaum non muslim pada orang muslim.
Patutnya makna jihad pada konteks saat ini, dimana orang muslim dapat hidup bersama dan juga saling menghormati satu sama lainya sebagai mahluk sosial adalah dengan cara memerangi egoisme pribadi untuk ingin ini ingin itu, memerangi ke-dholiman hukum penguasa yang berlaku dholim atau bahkan memerangi pribadi untuk selalu menguntungkan diri sendiri dan sombong sana-sini. Hal tersebut terasa lebih tepat jika  jihad diartikan dalam konteks masa kini. Apa lagi Nabi pernah mengisyaratkan pada kita melalui sabdanya Nahnu Narji’u Min Jihadil Asghor Ila Jihadil Akbar se-usainya pulang dari salah satu perangnya yang begitu besar yang pernah beliau pimpin, lantas hadits ini diperjelas oleh sahabat yang ingin tahu, apa yang dimaksud Nabi dengan perang besar dan kecil dengan pertanyaan mereka Ma Hua Jihadil Asghor wa Ma Hua Jihadul Akbar, Nabi menjawab Jihadul Akbar, huwa jihadun nafsi wa jihadil asghor jihadul kafirin, dari hadist ini patut untuk kita mengkontekstualisakan seruan jihad, dan kepada siapa kita berperang. Apa lagi saat ini yang kita tahu gerakan separatis islam yakni ISIS, al Qaidah atau Gafatar tidak hanya memerangi orang kafir tapi juga mereka memerangi orang muslim dan merusak doktrin Islam. Hal ini juga bertentangan dengan hadist “Al Muslim Akhul Muslim” dan hadist Al Muslim bainal muslim Kalbunyani atau Kun kal yadaini wala takun kal udzunaini.
Sejarah juga mencatat, besarnya ekspansi Islam bukan karena disebabkan peperangan, sejarha mencatat bahwa besarnya agama Islam kerena ke-indahan budi pekerti Nabi, budi pekerti para wali dan para ulama. Lalu kemudian mereka kaum non muslim simpati terhadap sikap dan keteladanan para Nabi, wali dan ajaran Islam, lalu mereka masuk kedalam agama Islam. Jika memang kita sepakat dengan teori dan metode Nabi dan para wali dalam dakwah Islamiyah semacam ini, lalu alangkah bodonya kita jika termakan semangat jihad Ala kaum separatis. Maka dari itu patut kiranya untuk meneladani metodologi dakawa Nabi dan Para wali ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOSIOLOGI HUKUM ISLAM

SEBAIK-BAIK TEMAN ADALA HUKAMA DAN ULAMA

METODOLOGI DAN PENDEKATAN STUDY ISLAM ERA KLASIK DAN MODERN